Kamis, 06 Oktober 2011

Dalamku Bukan Dalam-Mu


Belum tuntas ku mengidung
Kau berlari bersembunyi
Kidungku kau sangka jampi
Berlari terus kau berlari

Aku tak gentar kau kukejar
Sembunyi diilalangku, kubakar ilalangku
Sembunyi didegupku, kuhentikan degupku
Sembunyi dalam harga diriku, kuremukan harga diriku

Guncang getirku berlariku
Gencar kau berlari dilarik nafasku
Kocar-kacirmu fikirku dzikirku
Larimu jalur cinta, cintaku lengkung janur cintamu

Wajah alam belum dalam
Remang-remang diburu kelam
Kau masih sembunyi dalam-dalam
Dalam kidung semesta cintaku, dalam

Dalamu dalamku...
Kidungku jampiku kudalam ku
Jika jampimu guncang hati ku
Retas apiku padamku dalam mu

Dalam-Mu bukan dalam-ku
Dalam-ku bukan dalam-mu
Dalam-mu & dalam-ku, dalam-Nya
Getirmu, getirku, semesta-Nya

Senin, 23 Mei 2011

My Rindu : Untuk Diajengku

Gunung yang perkasa itu adalah kekasihku

Dilubuk hatiku ia adalah buah hatiku

Dulu kita sama-sama bisu, sampai ketika cinta menemukan kita

Ia menariku dari muslihat terang bulan dibalik langit biru

Lalu aku bergegas menyongsong peluknya

Lalu aku pergi berlari menyongsong peluknya

Aku sudah bersumpah akan menyongsong-nya

Detak jantungya khawatir, apa ini kisahku?

***

Angin berhenti mendesir, jantungnya berhenti berdetak

Sudah mati ia tak goyah pun teripis angin “Aku tak mendesir lagi”

Aku ingin undur diri dengan berat hati

Kata selamat tinggal itu akan kubisikan berulang kali ditelingamu sampai kau benar-benar mati. Kakiku sudah menyentuh bumi, dan kekasihku yang perkasa menyembunyikanku dengan pandai seperti ia menyembunyikan kebiruan cakrawala saat matahari berteriak-teriak akan membunuhnya.

Aku dipangkunya penuh kecemasan, dikeemasan pangkuanya yang lembut dan tidak menyakiti bak pasir diujung pantai perawan. Aku dan kekasihku sungguh berpadu dengan kesempurnaan ia puaskan dahagaku sedangkan ia tak terlelap sampai aku menyadari aku tak membutuhkan perlindunganya lagi.

“Kekasih, nafasmu memenuhi segenap relung hatiku?

Kau lunakan suaraku dalam gelora didadamu….

kau redamkan laraku dalam pandang matamu”

“Kini saat fajar tiba, kau ucapkan padaku kaidah cinta, kau bisikan semuanya ditelingaku, setelah itu kau hilangkanku dalam pelukanmu yang penuh damba itu… Ooh kekasih… janganlah pergi?”

Aku harus pergi hari-hari terik itu segera tiba, tak mungkin kudendangkan cinta selalu untukmu, tak mungkin kecupan-kecupan kasih ini akan selalu hinggap dipipi, dan dikeningmu. Janganlah kau warnai hatimu itu terus menerus dengan kekhawatiran. Janganlah kau teduhkan kegalauan itu selalu didalam dadamu yang indah itu.

Aku harus menjadi manusia yang kejam, begitupun kau kekasihku. Suatu saat kau harus membunuh rindumu kala air surut itu menariku jauh darimu, dan kau harus bisa tumbuh dan mengusap dari yang mengucur dari dua pasang matamu saat air pasang mengantarkanku kembali padamu. Sambut aku.

Yang kekasihku tak tahu akau sering menari-menari mengitari api yang menerangi badan-badan kami saja, mereka lahir dari rahim-rahim kekhawatiran sang kekasih sepertimu, senyuman mereka tak terlhat karena kesucian cinta dan kesedihan telah menodainya dengan kekhawatiran. Air mata mereka berkelap-kelip bakbintang memerah, mereka dalam kesedihan yang nyata manakala sesekali mendengar keluh kesah kekasihnya akan betapa kecilnya mereka tanpa cinta dari yang dicintainya.

Duh… jantung malam yang malam ini sedang menggeliat-geliat, aku adalah segenap mahluk-Mu. Kuserahkan kekasihku yang saat ini jauh dalam lindungan dan kasihmu. Kau berikan masa-masa pertemuan yang indah, dan kini Kau jauhkan kami dalam masa-masa pembuangan yang mengkhawatirkan. Entah rindu, entah cinta, aku sudah kebirikan semuanya dalam kalbuku, kadang aku tak kuat menghimpunya hingga Sebagianya berubah menjadi air mata, sebagianya membuatku terdiam, sebagianya membuatku menjadi pemangsa waktu yang ganas.

Duh… Hyang Gusti hamba manusia rindu tatap tak berharap murka. tolong berikanlah keadilan padaku jika Kau tak berkenan mempertemukanku dengan kekasihku, panggilah malaikat maut-Mu untuk menjemputku.

My Rindu : Untuk Diajengku

Kang mas sudah hampir lupa didagu atau dibawah bibir letak andeng-andangmu, tapi percayalah setiap senja sore datang rasa kecupan mesra, nakal, menimbulkan efek merinding tidak karuan dan segala rasanya itu tak pernah kang mas lupakan. (*)

****************************************************************

DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

Garansi Keamanan untuk Wong Cilik

ilustrasi/google

ilustrasi/google

Kocap kocarita, desas desus perekrutan anggota Negara baru semakin marak dengan modus yang beraneka ragam dan sasaran beraneka ragam pula, bahkan konon anggotanya dari kalangan politikus, akademisi, dan kalangan public figure negeri ini. Menjadikan masyarakat terutama orang tua menjadi was-was dan khawatir.

Satu lagi yang tak kalah seru adalah perekrutan calon pengantin, bukan untuk dinikahkan dengan wanita, tapi perekrutan calon pengantin yang ini akan dinikahkan dengan bom.loh…kok bisa?

Ya… pernikahan pasangan pengantin ini akan menghasilkan anak kehancuran dan nyawa. Jargon “Jihad fissabilillah” di fahami secara frontal, bahwa yang tak sefaham denganya adalah kafir, bahkan seluruh Elelmen Negara dikatakan kafir karena menggunakan azas pancasila bukan islam.

Karena dua fenomena ini khalayak menjadi semakin ekstra hati-hati dalam bersosialisasi.

Di sebuah gerbong kereta jurusan Bogor seorang PNS bernama Lian pernah menjadi korbannya, untungnya korban akhirnya selamat dan ditemukan sedang linlung di sebuah masjid di kawasan puncak.

Nantinya, diantara gerbong ke gerbong, diantara penumpang akan sepi tanpa tegur sapa, hanya ada suara derak gesekan antara roda besi dan landasan kereta, takut untuk beramah tamah dengan orang dibangku sebelah, siapa tahu dia tukang cuci, cuci otak!

Deterjenya lebih berbahaya dibanding pemutih kain supermahal.

Didalam bus, mungkin nantinya kita akan lebih baik berpuas dengan rasa haus, daripada menerima belas dari teman sebangku yang menawarkan air minum, takut, kalau-kalau airnya sudah dicampur dengan obat bius?cuci otak lagi!

Bukan kita malas untuk shalat berjamaah, beribadah meinggu ke gereja, bekerja lembur di pabrik atau perusahaan, tapi berikan jaminan bahwa masjid kami tak ada bom, gereja kami tak ada bom, dan pabrik atau perusahaan kami juga tak sedang dipasangi bom waktu, yang kapan saja bisa meledakan kami.

Bukan kami tak berani, tapi berani hidup dengan sungguh-sungguh kan lebih mulia daripada mati konyol.

Bukan kami tak mau percaya lagi dengan system keamanan transportasi di republik ini, mungkin stempel peron, dan tiket penumpang harus dibubuhi stempel tambahan “ORANG INI BUKAN TUKANG CUCI OTAK” atau “ORANG INI BUKAN TERORIS” setelah penumpang di periksa.

Mungkin juga di pintu masuk bandara, setasiun, dan terminal ada tulisan besar “SETASIUN, BANDARA. ATAU TERMINAL INI BERSIH DARI TUKANG CUCI OTAK DAN TERORIS”. Dan semua minuman kemasan setelah stempel halal dibubuhi juga stempel “TIDAK MENGANDUNG OBAT BIUS”.

Government kita memberikan jaminan keamanan penuh pada pejabat dan preseiden terutama, dan jaminan keamanan untuk rakyat/wong cilik apakah sudah terjaminan…? Adakah garansi itu untuk kita?

Selamat menempuh perjalanan SEMOGA SELAMAT SAMPAI TUJUAN DAN ANDA TIDAK NYASAR KE JURUSAN ALIRAN SESAT ATAU MATI KONYOL.

Puisi Kirim Pesan Edi Siswoyo Cinta, Angkara & keimajineran itu asyikk.. Beku: Di Halte Juanda

ilustrasi/google

ilustrasi/google

Diam… diam… diam…

Biar kita tanpa kata

Bicara saja dari hati

Pada hati berhati-hati

***

Tiadalah kata

Bisukan mulutmu

Hatimu bergetar

Hatimu bergetar

***

Mulailah pembicaraan itu

Mari gunjing awan dilangit

Mari singgung pelangi

Dari hati bicara hati-hati

***

Lekat bibirmu pada bibirku

Kala gelap menyentuh istora

Hujan menderak berseradu

Diam… Diam… sampai hujan reda

***

Nanti aku tinggal kau di halte juanda

Duduklah menatak Koran yang terkoyak

Dihalte itu akupun pernah beku

Bersama cuaca seperti ini, kelu

***

Lekat peluknya pula

Seperti kau ini “Jangan tinggalkanku”

Hatiku bergetar, hatiku bergetar

Tiada kata, hanya debar hati bicara

Jangan Meributkan E-mail, Plesiran, Tak Subtantif, Cuma [Guyon] kok!

Masihkah anda mau terus serius di Negara yang govermentnya tidak serius…? Kenapa anda tidak “Guyon” saja. Kenapa harus guyon…? Ya iyalah goverment kita saja terus-terusan guyon.

Sudah begitu banyak guyon yang tercipta dari government kita . Sidang paripurna yang melompong dengan banyak kursi kosong, sidang paripurna yang menjadi sidang pelepas lelah karena banyak peserta sidang paripurna yang tertidur, hayoooo… masih ada lagi yang lain, telpon-telponanlah, sms-anlah.

Yang terbaru adalah sidang paripurna diplesetkan menjadi “sidang pariporno”, saat ada anggota yang tertangkap kamera sedang menonton video “Bokep” saat sidang berlangsung. Meski tak lama kemudian anggota dewan tersebut secara legowo mengundurkan diri. Ngakak plus miris itulah kelakuan wakil kita di Senayan sana.

Konon, mereka sudah nglurug jauh-jauh ke eropa menimba ilmu etika melalui Acara Plesiran eh… maaf “Study Banding” ke Negara eropa sono, ke Yunani-lah, kemana-lah? Guyon lagi.

Ada guyon baru lagi masih anget baru kemarin-kemarin ini anggota KOMISI 8 yang ngotot study banding ke Melbourne – Australia menjadi bahan guyon mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Melbourne, saat salah satu anggota Komisi 8 ada yang kebingungan ketika ditanya akun e-mail resmi Komisi 8, yang ternyata emailnya tidak valid alias tidak ada akun atas nama komisi8@yahoo.com. Guyon lagi.


Selain, itu para teman-teman mahasiswa banyak mengkritisi kunjungan study banding anggota komisi 8 yang konon agendanya ngawur, lah wong… anggota dewan di Melbourne lagi pada libur ko… mereka datang, mau study banding UU fakir miskin apa mau ngapain Pak…? ”Guyon lagi”

Konon, estimasi biaya study banding salah waktu itu sampai 800 juta. Akan lebih bermanfaat lagi kalau duit sebanyak itu dialihkan untuk membenahi gedung Sekolah Dasar(SD) Negeri, Karang Patri 05 yang terletak di RT. 10/04 Des Karang Patri Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi dan Sekolah-sekolah lain di Nusantara yang masih jauh dari layak disebut sebagai tempat untuk menimba ilmu.

***

Mbok kalo mau study banding etika ga usah jauh-jauh… bukankah Negeri kita juga negeri yang kaya akan etika, banyak nilai-nilai kearifan local kita yang bisa saja jadi referensi untuk para anggota dewan untuk berguru etika.

Kita orang timur apa iya harus mencontoh lagi etika barat yang dulu pernah diajarkan orang-orang eropa yang pernah kita perangi agar pergi dari nusantara, membawa serta nilai penjajahan fisik dan non-fisik.

Kalau mau belajar tidak terlambat masuk ke ruang sidang ya lihatlah anak-anak TK yang pagi-pagi sudah sibuk menyiapkan diri untuk menimba ilmu, kalau mau belajar agar tidak mengantuk saat sidang, ya belajarlah pada kuli panggul dipasar-pasar yang rela tak tidur menunggu barang yang akan dibongkar dan dimuatkan.

Para dubes Negera tertuju mestinya mencontoh duta besar Indonesia untuk swiss Djoko Susilo yang dengan tegas menolak kedatangan rombongan anggota DPR ke swiss karena akan sia-sia saja, masalahnya anggota parlemen swiss pada saat tanggal bulan kunjungan yang ditentukan sedang libur pula. “Ah gagal deh foto-foto di gletser terpanjang dan paling indah di Pegunungan Alpen dengan panjang 23 km.” Guyon.

Salut dari kami wong cilik untuk Pak Djoko Susilo.

Sementara SD kita masih compang-camping masihkah kalian ingin membangun gedung baru yang konon bermiliaran harganya.

Huuusss… sudahlah jangan meributkan masalah email, plesiran, dan gedung baru, itu tidak subtantif mari kita lihat saja dari gaji yang sudah kita bayarkan kepada mereka, akan dikembalikan dalam bentuk guyon apalagi?. (*)

Masihkah anda mau terus serius di Negara yang govermentnya tidak serius…? Kenapa anda tidak “Guyon” saja. Kenapa harus guyon…? Ya iyalah goverment kita saja terus-terusan guyon.

Sudah begitu banyak guyon yang tercipta dari government kita . Sidang paripurna yang melompong dengan banyak kursi kosong, sidang paripurna yang menjadi sidang pelepas lelah karena banyak peserta sidang paripurna yang tertidur, hayoooo… masih ada lagi yang lain, telpon-telponanlah, sms-anlah.

Yang terbaru adalah sidang paripurna diplesetkan menjadi “sidang pariporno”, saat ada anggota yang tertangkap kamera sedang menonton video “Bokep” saat sidang berlangsung. Meski tak lama kemudian anggota dewan tersebut secara legowo mengundurkan diri. Ngakak plus miris itulah kelakuan wakil kita di Senayan sana.

Konon, mereka sudah nglurug jauh-jauh ke eropa menimba ilmu etika melalui Acara Plesiran eh… maaf “Study Banding” ke Negara eropa sono, ke Yunani-lah, kemana-lah? Guyon lagi.

Ada guyon baru lagi masih anget baru kemarin-kemarin ini anggota KOMISI 8 yang ngotot study banding ke Melbourne – Australia menjadi bahan guyon mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Melbourne, saat salah satu anggota Komisi 8 ada yang kebingungan ketika ditanya akun e-mail resmi Komisi 8, yang ternyata emailnya tidak valid alias tidak ada akun atas nama komisi8@yahoo.com. Guyon lagi.

Selain, itu para teman-teman mahasiswa banyak mengkritisi kunjungan study banding anggota komisi 8 yang konon agendanya ngawur, lah wong… anggota dewan di Melbourne lagi pada libur ko… mereka datang, mau study banding UU fakir miskin apa mau ngapain Pak…? ”Guyon lagi”

Konon, estimasi biaya study banding salah waktu itu sampai 800 juta. Akan lebih bermanfaat lagi kalau duit sebanyak itu dialihkan untuk membenahi gedung Sekolah Dasar(SD) Negeri, Karang Patri 05 yang terletak di RT. 10/04 Des Karang Patri Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi dan Sekolah-sekolah lain di Nusantara yang masih jauh dari layak disebut sebagai tempat untuk menimba ilmu.

***

Mbok kalo mau study banding etika ga usah jauh-jauh… bukankah Negeri kita juga negeri yang kaya akan etika, banyak nilai-nilai kearifan local kita yang bisa saja jadi referensi untuk para anggota dewan untuk berguru etika.

Kita orang timur apa iya harus mencontoh lagi etika barat yang dulu pernah diajarkan orang-orang eropa yang pernah kita perangi agar pergi dari nusantara, membawa serta nilai penjajahan fisik dan non-fisik.

Kalau mau belajar tidak terlambat masuk ke ruang sidang ya lihatlah anak-anak TK yang pagi-pagi sudah sibuk menyiapkan diri untuk menimba ilmu, kalau mau belajar agar tidak mengantuk saat sidang, ya belajarlah pada kuli panggul dipasar-pasar yang rela tak tidur menunggu barang yang akan dibongkar dan dimuatkan.

Para dubes Negera tertuju mestinya mencontoh duta besar Indonesia untuk swiss Djoko Susilo yang dengan tegas menolak kedatangan rombongan anggota DPR ke swiss karena akan sia-sia saja, masalahnya anggota parlemen swiss pada saat tanggal bulan kunjungan yang ditentukan sedang libur pula. “Ah gagal deh foto-foto di gletser terpanjang dan paling indah di Pegunungan Alpen dengan panjang 23 km.” Guyon.

Salut dari kami wong cilik untuk Pak Djoko Susilo.

Sementara SD kita masih compang-camping masihkah kalian ingin membangun gedung baru yang konon bermiliaran harganya.

Huuusss… sudahlah jangan meributkan masalah email, plesiran, dan gedung baru, itu tidak subtantif mari kita lihat saja dari gaji yang sudah kita bayarkan kepada mereka, akan dikembalikan dalam bentuk guyon apalagi?. (*)

Dan, ketahuilah kalo tidak plesiran eh study banding itu tidak indonesia.

PESAN TERAKHIR PENULIS SEBELUM ACOUNT BROADBAND PENULIS HABIS

“KORUPTOR LEBIH BERBAHAYA DARI TERORIS”

Sumber Gambar : Google

Rabu, 18 Mei 2011

Balas Budi Kresna Pada Drupadi

Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa tak mampu berbuat apa-apa, taruhan terakhir iaitu istri mereka sendiri Drupadi pun menuai kekalahan yang artinya mereka harus menyerahkan Drupadi pada pihak kurawa.

Duryudana tertawa terbahak-bahak suaranya sampai sundul terdengar hingga kahyangan. Dendam kesumat Duryudana dan saudara-saudaranya yang pernah merasa dipermalukan Drupadi pada saat upacara rajasuya terbalaskan hari itu.

Ketika itu Duryudana dan saudaranya terkesima dengan keindahan istana indraprastha milik puntadewa, hastina tak mempunyai aula semegah ini kolam air jernih yang terletak ditengahnya mereka fikir berkaca, jernih kolam itu seperti lukisan hidup, mereka terbuai dengan diorama bawah air yang seperti sungguhan, dan saat melangkah terceburlah duryudana dan saudara-saudaranya. Drupadi tertawa melihat kejadian itu.

Dan, sekaranglah saat yang tepat Duryudana meminta Drupadi membuka kain sari penutup pahanya, drupadi yang masih terisak memohon belas kasihan pada resi bisma agar kurawa tak melakukan hal itu, namun ini adalah hasil kesepakatan antara puntadewa atau yudistira pihak yang kalah harus menurut apapun konsekuensi permintaan dari pihak kurawa yang menang, resi bisma tak bisa berbuat apa-apa. Sang Bandar dadu licik sengkuni tertawa dan mencegah pihak pandawa saat akan melakukan perlawanan.

Semakin aneh saja permintaan duryudana, ia meminta drupadi menangggalkan kain sarinya, drupadi menolak dan memohon kepada kelima suaminya agar menyelamatkanya namun bima, arjuna, yudistira, nakula dan sadewa tak bisa berbuat apa-apa, kemudian drupadi menengadah memanjatkan do’a kelangit berpasrah pada apapun yang akan terjadi.

Dursasana, mulai menarik perlahan kain sari drupadi sambil tertawa terbahak lepas, begitu indah kemenangan setelah membuat saudara pandawa mereka jatuh miskin dan harta terakhir mereka, yaitu istri tercintanya kini telah menjadi milik kurawa.

Keajaiban terjadi saat kain sari penutup perut dan sebagian tubuh drupadi tak kunjung habis ditarik, semakin kuat dursasana menarik semakin kain itu bertambah panjang sampai dursasana terjatuh lemas, kelelahan.

Ilustrasi Drupadi Vastharan/wikipedia

Ilustrasi Drupadi Vastharan/wikipedia

Do’a drupadi terkabulkan dengan bantuan Sri Kresna kain sari itu bertambah panjang dan tak habis-habis, ini adalah bentuk balas budi Kresna, karena pada saat upacara rajasuya, kresna yang mendapat penghina bertubi-tubi dari sisupala dan akhirnya berduel dan kepala sisupala terpenggal dan mati oleh Cakra Sudarsana milik kresna, tangan kresna terluka pada saat mencabut cakranya dan saat itulah drupadi memberikan pertolongan dengan menyobek kain sarinya untuk membalut tangan Kresna yang bersimbah darah.

Tipu muslihat sengkuni yang mengerti betul yudistira tak mungkin menolak permintaan permainan dadu dari pihak pandawa dengan alasan untuk mempererat tali persaudaraan antara pandawa dan kurawa, dimanfaatkan untuk menjarah habis harta benda dan kehormatan pandawa, yudistira yang berhati bersih tak bisa menolak apalagi dia amat menyukai permainan dadu, selain istananya menjadi milik kurawa, yudistira dan saudara-saudaranya diasingkan kehutan selama 12 tahun, dan dihukum menyamar selama satu tahun, seandainya penyamaran mereka terbongkar maka hukumanya harus diulang lagi.

Kalau saja Yudistira dan saudara-saudaranya mengikuti saran Bang Haji Rhoma Irama, mungkin akhirnya tak seperti itu :

“Judiiii….. (judiiiii…) ngeeeeekk… menjanjikan kemenangan…”

“Judiiii….. (judiiiii…) ngeeeeekk… menjanjikan kekayaan…”

Bohong… kalaupun kau menang itu awal dari kekalahan

Bohong… kalaupun kau kaya itu awal dari kemiskinan

Judiiiii… teeerrrrrrrlaluuuuuuuuu….

Antareja, Antasena, Tokoh Wayang Paling Indonesia

13041379652104516465

Bendera Punakawan/Koleksi pribadi

Antareja, Antasena, Tokoh Wayang Paling Indonesia

Ya, karena dalam babon dan atau serat asli Mahabarata tidak ada dua tokoh antareja dan antasena atau aliran wayang kulit soloan menganggap antareja dan antasena adalah tokoh yang sama, sedangkan versi lain menyebutkan bahwa antareja dan antasena adalah dua tokoh yang berbeda meski dua-duanya adalah sama-sama anak werkudara alias bima, selain si otot kawat balung wesi “Gatotkaca”. Namun peristiwa kelahiran dan ibu mereka berbeda.

Selain itu masih banyak tokoh wayang lain paling Indonesia, seperti Bambang Wisanggeni anak Arjuna, dan yang paling ramah dengan mata pecinta wayang dan masyarakat Indonesia adalah tokoh punokawan, Semar, Gareng, Petruk, Bagong.

Tokoh Janggan Asmarasanta atau semar atau batara ismaya, gareng, petruk dan bagong juga tidak ditemukan dalam serat asli mahabarata dan Ramayana, namun dalam pementasan wayang jawa, sunda dan bali, tokoh ini kerap muncul sebagai penasihat dan abdi pandawa dalam wiracitra mahabarata, dan menjadi penasihat dan abdi dari Prabu Ramawijaya. Selain punokawan ada tokoh Togog dan Mbilung, Limbuk dan cangik mereka semua mengabdi ke kurawa.

Sekilas tentang antareja dan antasena.

13041376371536990551

Antareja/koleksi Pribadi

Antareja, dikatakan anak Bima dari perkawinanya dengan Dewi Nagagini putri dari Hyang Anantaboga Dewa dari bangsa ular bagi di kayangan saptapratala, kesaktian antareja tiada tara dia diwarisi ajian upasanta oleh kakeknya lidahnya sangat sakti, makhluk apapun yang dijilat telapak akakinya akan menemui kematian, ajian napakawaca membuat kulitnya kebal dari senjata apapun, dan cincin mutikabumi yaitu menjauhkan dirinya dari kematian asalkan masih menapak diatas bumi, dan menghidupkan orang mati diluar takdir, serta ia mampu berjalan didalam bumi. Antareja mati moksa sebagai tumbal kemenangan Pandawa dalam kancah baratayuda, ia naik ke kayangan menemui batara guru dan menjilat telapak kakinya sendiri.

Antasena/wikipedia

Antasena/wikipedia

Antasena, anak Bima atau Wrekudara atas perkawinanya dengan Dewi Urangayu, putri Batara Mintuna, Batara dari bangsa udang dan hewan laut, dikatakan antasena kulitnya bersisik udang kesaktianya kulitnya kebal dari senjata apapun, selain mampu terbang, ia juga ahli menyelam dalam air, serta mampu amblas ke bumi, ia meninggal moksa bersama saudara sepupunya Bambang Wisanggeni putra Arjuna, menjadi tumbal kemenangan pandawa, meskipun keinginanya untuk terjun ke medan laga baratayuda di padang kurukhsetra menggebu tapi batara guru mencegahnya.

Kenapa tokoh wayang tersebut saya katakan paling Indonesia, karena dalam wiracitra asli Mahabarata dan Ramayana sama sekali tidak ada kemunculan tokoh-tokoh tersebut. Tokoh-tokoh tersebut adalah hasil rekaan resmi pujangga nusantara, yang sangat Indonesia, karena penokohan dan dalam perkembangan ceritanya didunia pewayangan nusantara mengandung nilai-nilai kearifan lokal (Local Wisdom).

Dalam hal perbedaan anggapan bahwa antareja dan antasena merupakan tokoh tunggal atau dua tokoh yang berbeda, saya memandang ini adalah cerminan dari Negera kita yang berdemokrasi hingga sampai ke cerita wayangpun kita harus berdemokrasi, yang penting dua aliran ini bukan aliran sesat. Semuanya masuk dalam kerangka budaya nasional dan nilai, norma, lokal yang sudah menjadi kewajiban kita sebagai pemangku hajat ibu pertiwi untuk menggali, mempelajari, dan mengabadikan budaya kita, agar jangan sampai dilupakan apalagi dicuri kepemilikan fisik maupun non fisiknya oleh Negara lain.

Seperti telkomsel yang paling Indonesia, semoga dapat selalu menjaga mutu dan layanan sebagai provider dengan jangkauan terluas ke seluruh nusantara, dan sudah menjadi layanan telekomunikasi dengan pengguna terbanyak dari layanan sejenis yang ada di Indonesia, semoga telkomsel terus maju menjadi yang terdepan dan menjadi yang paling Indonesia. (*)

SEKIAN, MAJU TERUS TELKOMSEL.

Mata Itu

Ilustrasi Mata/Google
Ilustrasi Mata/Google


Mata itu
Tak merah ia menyalang

Pendar binarnya

Pendar binarnya

Menatap muka semesta itu mata

Muka semesta malu merunduk

Mata berkaca-kaca
Mata berkaca-kaca


Aku dan semesta

Berkaca pada mata

Mata itu tak merah

Mata itu tak marah

Ih ngeri aku

Runcing kata dalam tatapnya

Jadi tumbak ujam hati

Mata itu dan nyalangnya


Aku dan semesta

Memejam mata

Tak mampu berkaca

Tak mampu berkata


Mata

Mata


Maaf aku tak tahu
Aku yang selalu menagih kata

Padahal sebelum mulutmu mengucap kata

Matamu sudah membicarakan semua
Maafkan aku kekasih

Sampai kau pergi, aku hanya tertunduk

Tak mampu lagi kutatap matamu
Matamu abadi dilangit

Mungkin kau dari surga sana sedang menatapku penuh kecewa(*)


dedicated for : Pemilik sepasang mata indah yang kini abadi menatap syurga.









Sisupala dan [Angkaranya] Malaysia

Tahukah sobat siapa itu Sisupala?

Sisupala adalah raja disebuah wilayah kerajaan kecil yang masih dalam wilayah administratif Kerajaan Ngastina.

Sisupala bayi dilahirkan dalam bentuk seperti gurita tanganya berjumlah empat berbentuk tentakel-tentakel, dan matanya ada tiga buah, badanya berkilau-kilau karena lender-lendir yang terus keluar dari kulitnya.

Sabda langit “mengatakan sisupala bisa kembali menjadi manusia normal asalkan dipangku seseorang istimewa yaitu titisan wisnu, begitupun ajalnya ada ditangan orang tersebut” akhirnya kedua orang tuanya Damagosa dan Srutadewa dari kerajaan chedi urung membuang sisupala bayi gurita.

Kenapa sisupala bermata banyak dan bertentakel seperti gurita?

Konon, ibunya yang sedang hamil punya hobi mengintip orang mandi, dan kala Resi Hudaya sedang mandi di telaga, dari balik rimbunya semak di pinggir telaga ia mengendap-endap dan mengambil pakaian sang resi, Sang Resi yang sedang asyik mandi kaget manakala kakinya seperti dihentak oleh belut besar, sang resipun berenang dan berlari keluar dari telaga tanpa sehelai benangpun, sial saat mengahampiri pakaiannya sudah tidak ada.

Sayup-sayup dari balik rimbunya semak-semak sang resi mendengarkan suara perempuan tertawa kecil melihat sang resi yang sudah dalam kondisi bugil. Kemudian sang resi bicara :

“Hai… siapapun itu yang mengintipku mandi, kelak kau akan melahirkan anak berkaki banyak seperti gurita dan kulitnya licin seperti belut, pertanda ibunya suka berjalan diam-diam untuk mengintip orang mandi”

Begitulah ihwalnya.

Tapi siapakah titisan wisnu yang akan membuat bayi itu kembali menjadi manusia, tentulah orang itu Prabu Kresna, yang masih terhitung saudara sepupu bayi sisupala.

Saatnya pun tiba saat keluarga kresna Prabu Basudewa berkunjung ke kerajaan chedi untuk menengok keponakanya, kresna pun turut serta, hal ajaib pun terjadi saat kresna memangku sisupala saudara sepupunya seketika tangan tambahan, dan mata si bayi itu menjadi normal. Permaisuri Srutadewa akhirnya mengetahui bahwa ajal anaknya ada ditangan kresna, memohon kresna agar tidak membunuh anaknya suatu saat.

Kresna menyetujui asalkan sisupala tidak menghina bertubi-tubi lebih dari seratus kali apalagi didepan khalayak ramai, apabila itu terjadi kresna tak segan-segan membunuh sisupala.

Benarlah, pada saat upacara Sesaji Raja Suya yaitu hajatan penobatan dan pengukuhan sulung pandawa yaitu prabu yudisthira sebagai Raja dari seribu raja Nusantara. Seribu raja taklukan dari penjuru Bharatawarsa hadir di aula kerajaan Astina termasuk sisupala dari dari kerajaan chedi. Disaat suasana khidmat terdengar suara sisupala tak berhenti mengumpat, dan menghina, Sri Kresna, sampai saat pemberian penghargaan pada penasihat Pandawa itu akan diberikan oleh Resi Bisma, sisupala tak berhenti menghina, dan mengolok-olok dan menantang Sri Kresna untuk mengadu Kesaktian.

Sesuai janjinya Kresna bangkit dari tempat duduknya, kemauan sisupala dikabulkan untuk bertarung, perkelahian tak imbang dengan cakra sudarsana leher sisupala ditebas dan menggelinding di lantai aula astinapura.

Ilustrasi/wikipedia
Ilustrasi/wikipedia

***

Dalam versi pewayangan lain, tak peduli seberapa banyak penghinaan dari sisupala Kresna akan selalu bersabar dan memaafkan, asalkan penhinaanya tidak dihadapan seratus orang.]

Cerita pewayangan klasik ini bisa direfleksikan dengan hubungan Indonesia dan Negeri Jejiran Malaysia, Kresna memberikan syarat kepada sisupala agar tak sampai menghinanya lebih dari seratus kali didepan seribu orang, kita tinggal menghitung saja sudah berapa kali Malaysia menghina dan menyakiti hati bangsa Indonesia (Belum sampai sertus kali…?), dengan adanya media massa Penghinaan Malaysia terhadap Indonesia disaksikan lebih dari Seribu orang bahkan berjuta-juta bahkan mungkin milyaran manusia di seluruh dunia.

Begitu murah hatinya Kresna dia mau memberikan penyelamatan pada Sisupala sang bayi Gurita, sehingga ia bisa menjadi manusia normal. Tak kurang murah hati seperti lagi Indonesia yang dengan sukarela memberikan guru untuk mengajar di Malaysia, para ahli, termasuk guru musik keroncong untuk mengajar Malaysia, tapi lihatlah apa dilakukan sisupala terhadap kresna, dan Malaysia terhadap…

Sekian, Saya cerita bejatnya si supala dengan macapat Dandhanggula

“La mun sira, anggeguru kaki

Amiliha, manungsa kang nyata

Ingkang becik martabate

Sarta kawruh ing ukum

Kang ngibadah, lan kang ngirangi

Sukur oleh wong tapa

Ingkang wus amungkul

Tan mikir paweweh ing lyan

Iku pantes, sira guronana kaki

Sarta neka wruhana”

Macapat “Dhandhanggula” tafsirnya disini

Macapat [Dhandhanggula]

“La mun sira, anggeguru kaki

Amiliha, manungsa kang nyata

Ingkang becik martabate

Sarta kawruh ing ukum

Kang ngibadah, lan kang ngirangi

Sukur oleh wong tapa

Ingkang wus amungkul

Tan mikir paweweh ing lyan

Iku pantes, sira guronana kaki

Sarta neka wruhana”

Tafsir :

“Jika kamu hendak berguru, bergurulah pada manusia yang benar dan membenarkanmu, yang menjaga kebaikan martabatnya, karena hukum ia menjadi manusia yang patuh dan beriman”

“Dia selalu beribadah tanpa mengurangi kerendahan hatinya, lebih baik jika gurumu selalu berendah diri, yang sudah berisi namun ia tertunduk, dengan itu ia akan mengajarimu tanpa pamrih, itulah kejadian yang pantas kau jadikan guru, karena denganya mendatangkan pengetahuan yang tak kau ketahui.”

Sebuah Renungan : Dari dan Untuk Teman Hebatku

Teman hebatku merenunglah hingga titik nadir perenunganmu

Hingga berat rasa lelah dari perenunganmu

Hingga kau harus bangkit dari perenungan dan melakukan

Satu langkah kedepan, satu langkah menuju kemajuan

***

Teruslah kau melangkah sampai jengah

Hingga berat rasa lelah karena kegagalnmu

Hingga kau harus tersadar melangkah saja tak cukup

Kau pun berlari-lari kecil menuju kesuksesanmu

***

Engkau terus berlari kecil sampai kau berpeluh dan berkesah

Hingga berat rasa lelah sedangkan garis finish masih jauh disana belum terlihat

Akhirnya kau sadar bahwa kau harus berlari lebih kencang ketimbang temanmu

Kau tak menyerah kawan hebatku, kau pun harus bermarathon dengan keras

***

Ah.. teman hebatku itu pun masih kurang “Aku sudah sering gagal walaupun sudah berlari sepertimu”

Segala usaha sudah kau lakukan untuk mencapai kesuksesan

Sampai bekerja keras pun kau masih menemukan kegalalan

Apakah kau akan berputus asa teman hebatku?

***

Sadarlah teman hebatku, semuanya masih belum cukup

Fikirkan kembali caramu?

Apakah kau sudah menyertakan Tuhan dalam setiap usahamu dalam mencapai kesuksesan?

Apakah kau sudah menakar sampai dimana potensimu?

Apakah kau sudah mencatat kekuranganmu agar bisa menemukan kelebihanmu?

Apakah kau sudah siap menerima buah dari usaha dan kerja kerasmu?

***

Jika demikian kau manusia yang selalu ingin menang seperti teman hebatku yang lain

Jika demikian kau manusia yang selalu kurang seperti teman hebatku yang lain

Dari itu janganlah kau selalu menuntut kesuksesan dari apa yang kau lakukan

Tapi, lakukan lakukanlah terus, benahi caramu teman…

***

Janganlah kau berharap bisa mendapatkan keinginan yang tak mungkin kamu gapai

Tapi berilah penghargaan pada apa yang kamu lakukan sekarang

Berilah perhatian penuh pada apa yang kamu kerjakan sekarang

Hingga kau tak sadar sedang mempersiapkan dirimu untuk sesuatu yang besar

Masa depanmu (*)

Legenda Brebes : “Jaka Poleng”

Gunung Slamet yang perkasa masih terlihat malu-malu membiru, diburu kelabu biru-biru kabut, dikejar kuning kemuning senja dibalik punggungnya. Rerumputan, kayu jati, bunga dan dedaunanya masih menggigil kedinginan, kaki-kakinya basah. Berembun. Tes… tes… tes menetes air yang semalam sampai sepertiganya masih berwujud asap-asap purba mengembara dari gunung kini menetes dari daun yang paling atas, jatuh kedaun yang paling bawah, dan tergelincirlah ia jatuh membenam ke tanah sesuai sunah-Nya.

Kesibukan sudah mulai sebelum alarm alamiah dari bengokan ayam jago yang menggaung sahut menyahut dari kaki gunung slamet hingga bibir pantai randusanga.

Kocap Kacarita, disebuah halaman belakang kabupaten Brebes Bi Ojah sedang sibuk menggaruk-garuk tanah dengan sapu lidinya, beberapa menit setelahnya sampah daun melinjo dan mangga kering terkumpul dan siap untuk dibakar.

Seorang pemuda gagah nampak berlari tersaruk-saruk oleh sarungnya masuk dari pintu belakang.

“Biiii…..” teriaknya sambil terus berlari menuju kandang kuda yang terletak sepuluh meter dipojok kanan halaman belakang kabupaten.

Ya, dialah laksito selepas sholat shubuh beginilah pekerjaanya merawat Kyai Genta kuda kesayangan Sinuwunya Gusti Kanjeng Bupati. Dia anak Pangon (Anak gembala bayaran : Ind) kesayangan Kanjeng Bupati, rapi pekerjaanya dan tekun ibadahnya. “Wah…. Ingin aku selalu melihat Laksito merawat Si Genta…” Kata-kata puas dan sanjung puji selalu Bupati berikan karena puas melihat hasil kerja Laksito.

Setelah, Kandang dan kudanya sudah selesai dibersihkan biasanya , Laksito menikmati seduhan teh poci dan kue alu-alu yang tiap hari disediakan Bi Ojah, barulah ia berangkat menuju persawahan untuk mencari rumput hijau makanan pokok untuk Kyai Genta kuda rawatanya.

“Bi… aku berangkat kesawah dulu yah…” Laksitho berpamitan dengan Bi Ojah sambil menyangkutkan dua keranjang bambu kosong wadah rumput kebahu sebelah kananya, sebuah sabit tanpa warangka (Sarung : Ind.), ia taruh disalah satu keranjang bambunya, dan hilanglah sosok Lakshito dibalik pintu gerbang pendopo kabupaten.

Ditelusurinya pematang sawah yang tanahnya masih lembab terkena embun, menuju kaki bukit wanasari yang rumputnya hijau dan lebat, setelah sampai Lakshito tanpa ragu menyabit semua rumput gajah yang tumbuh liar dikaki bukit, satu keranjang terisi penuh Lakshito pun merasa lelah.

“Glek…glek…glek….” Buah jakun Lakshito tampak naik turun mereguk air kendi yang ia bawa, dan selalu ia minum dibawah pohon besar rindang di kaki bukit wanasari.

***

Ilustrasi By. Edi Siswoyo

Ilustrasi By. Edi Siswoyo

Angin yang mengipis sangat sepoi, keringat Lakshito yang semula lantis bercucur perlahan berhenti, rasa lelah pun berganti rasa kantuk, saat mata Lakshito mulai sayup-menyayup hampir tenggelam dalam tidurnya, ia melihat Ula Poleng (Ular Belang : Ind) besar bermahkota emas dikepalanya melintas didepanya.

Lakshito, menggerus-gerus matanya beberapa kali, setelah yakin ia sedang tidak bermimpi Lakshito mengendap-endap dari belakang, mengikuti kemana ular ajaib bermahkota emas itu akan pergi.

Langkah kelok-keloknya berhenti disebuah semak rimbun, Lakshito hanya bisa melihat ekornya yang terus bergoyah-goyah kekanan kekiri sesekali memutar.

“Wah… kenapa yah… apa ini tafsir dari mimpiku semalam, aku bertemu Raja Ular yah…?” Laksito memalingkan mukanya dan bergumam sendiri, sambil jempolnya menyaruk janggutnya.

Setelah sekian waktu Laksito terbengong sampai tak sadar ular belang bermahkota emas itu pergi dan meninggalkan selaput kulit benang-benang berwarna putih berkilau-kilau, laksito memungut sisik tua ular belang itu dan menyimpanya dikantong lalu ia mulai lagi menyelesaikan pekerjaanya mengisi penuh keranjang bambu wadah rumputnya sampai penuh.

“Huuhh…selesai juga akhirnya ” ucap laksito sambil menyeka keringat yang mengucur didahinya dengan tanganya.

Laksito pulang dengan memikul dua keranjang penuh rumput, sesekali untuk mengusir sepi laksito berdendang lagu kesukaanya, “Gambang Suling” sambil nafasnya terengah-engah :

Gambang suliiiing…

Kumandang Swaranee…

Tulat…tulit Kepenak Uninee…

Unineemuu… Ngrenyuh ake baaa…

Lenrang kentrungkeeeen…

Tipung suling…

Siiiii’grak kendanganeee…

Sepanjang perjalan pulang hingga sampai ke pintu gerbang pendopo kabupaten Brebes Laksito merasakan ada hal aneh yang ia rasakan, setiap orang yang berpapasan denganya tak menjawab sapaannya.

Rumput sudah Laksito tempatkan disebuah gubug kecil tempat menyimpan pakan-pakan kuda.

Sambil berjalan menuju Bi Ojah yang Nampak sedang sibuk di dapur Laksito menyipas-ipaskan ikat kepalanya yang sudah terlepas kearah mukanya, sambil dahinya mengernyit-ngernyit tak tahan menadah sinar matahari yang jatuh dimukanya.

“Bii…. Masak apa? Lapar aku Bii…” Teriak Laksito sambil tanganya dengan cekatan menyambar mendoan tempe yang masih ditiriskan dari minyaknya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Laksito Bi Ojah terperanjak sampai abu dari pawon (tungku : Ind) yang sedang Bi Ojah tiup-tiup dengan selongsong bambu menyembur buyar beterbangan tak karuan “Duh Gusti… Gusti… Siapa itu….” Teriak Bi Ojah sambil mengusap-usap mukanya yang kini berwarna putih penuh abu.

“Bi aku Sito Biii… aku disini bi disamping Bibi….” Sahut Laksito sambil merengkuh tangan Bi Ojah yang sedang menodongkan selongsong bambu entah maksudnya apa.

“Haaaahhh…. Kamu setan pasti…. Setan…setaaaannn…tolooongg Gustiii…” Bi Ojah berteriak-teriak sambil meronta-ronta mencoba melepaskan tanganya yang dipegang Laksito yang sudah kasat mata.

***

Mendengar suara gaduh dari belakang dapur Gusti Kanjeng Bupati berlari keluar ke belakang menuju dapur.

“Tenang Bi Ojah… ada apa ini… ada apa ini….” Sambut Gusti Bupati sambil menenangkan Bi Ojah yang terus berteriak-teriak dan meronta-ronta.

“A..aaa…aaa…ampun Gusti… tadi ada suara tapi tak ada wujudnya mengaku Laksito…itu Jin Gusti…Jin…” Tungkas Bi Ojah tergagap-gagap, sambil matanya berkedip-kedip tanpa irama.

“To…Laksito… Cah Baguss… Cah Assigit… Apa benar sejatinya kau memang Laksito…” Ucapanya tenang dan berwibawa.

“Iya Gusti ini hamba… Benar-benar hamba abdi kinasihmu Laksito…” Suara tanpa wujud itu menyahuti pertanyaan Gusti Bupati.

“Kenapa kamu bisa seperti ini Laksito… ada apa gerangan… Ceritakan Laksito?” Tanya Gusti Bupati seolah-olah sedang berhadapan dengan sosok Laksito yang kasat mata.

“Hamba sendiri bingung Gusti… hanya tadi saya mengambil sisik ular yang terlepas…” Papar Laksito yang kasat mata.

Bi Ojah, beberapa pelayan nampak celingukan kadang menatap keatas langit-langit dapur sambil mengusap kuduk-kuduknya, serba bingung dan takut mereka dibuatnya.

“Baik Laksito… dimana kamu simpan sisik ular itu…? Gusti Bupati melanjutkan interogasinya pada sosok Laksito yang kini seperti manusia dalam gambaran syair “Padamu Jua” Karya Raja Penyair Amir Hamzah : Dimana engkau…, Rupa tiada…, Suara sayup…, Hanya kata merangkai hati …

“Dikantong hamba Gusti….” Jawab Laksito.

“Baiklah sekarang coba kamu keluarkan sisik ular itu… Buang jauh dari badanmu…” Saran Gusti Bupati, sambil jari telunjuknya memberi aba-aba agar Laksito meletakanya diatas meja makan bundar yang ada di dapur.

Benarlah ketika sisik ular itu dikeluarkan dari kantong laksito, dan ia taruh di meja sosok Laksito pun dapat terlihat lagi. Bi Ojah berteriak kegirangan usai sudah rasa takutnya, kalau benar-benar Laksito sampai hilang dan menjadi manusia tanpa wujud, pastilah ia akan sangat berduka dan sedih.

“To…. Laksito… ya ampun Nang… ” Sambut Bi Ojah sambil menepuk-nepuk punggung Laksito.

***

Rasa senang dan bahagia Bi Ojah, Laksito dan beberapa abdi yang juga teman Laksito, hanya berlangsung sebentar, tragedi besar segera terjadi. Gusti Bupati yang melihat bahwa sisik ular yang dibawa Laksito tanpa sengaja itu bertuah, timbul hasrat Gusti Bupati untuk memilikinya.

“Ya Sudah to… sekarang aku yang simpan saja… sisik ular itu… ” Pinta Gusti Bupati sambil tanganya mengangsur kearah Laksito yang sedang tersimpuh di depan Gusti Bupati.

“Mohon maaf Gusti… hamba tidak dapat memberikanya… itu amanat besar dari Tuhan untuk saya… ” Jawab Laksito sambil memadukan kedua telapak tanganya, menyembah menundukan kepalanya.

“Hmmmm …nanti aku naikan jabatanmu jadi carik-ku (Sekretaris : Ind.)…” Rayu Gusti Bupati agar Laksito mau memberikan sisik ular itu.

“Mohon maaf… ini milik hamba karena hamba yang menemukan…, Gusti amanat ini tak bisa dinilai dengan harga dan jabatan, ini amanat dari Tuhan yang harus hamba jaga… Mohon maaf Gusti…” Laksito tetap keukeuh jumeukeuh dengan pendirianya bahwa amanat adalah harga mati yang harus dijaga dengan baik.

“Buat apa… tidak ada gunanya kamu memilikinyaaa… ” Hardik Gusti Bupati sambil langkahnya merangsek kedepan menuju meja tempat sisik ular itu tergeletak.

“Mohon maaf Gusti…. Hamba terpaksa melawan Gusti… ” Laksito bangun dari simpuhnya, serentak mereka kini saling bergelut saling mendorong, tubuh mereka beradu beberapa kali hampir tangan Gusti Bupati hampir menjangkau kulit itu, namun tenaga dan badan Laksito yang lebih besar tak cukup sebanding dengan badan ceking Gustinya, didorongnya Gusti Bupati hingga terjerembab terhempas beberap senti ambruk ke lantai. Secepat kilat tangan laksito mengambil sisik ular yang terseak-seok tertiup angin, dan dimasukanya benda itu kedalam mulutnya.

Bermaksud hanya untuk menyembunyikanya saja tapi, “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih” tanpa sengaja sisik ular itu tertelan.

***

Perlahan-lahan sedikit demi sedikit tubuh Laksito hilang raib.

“Maafkan hamba Gusti…. Maaf beribu maaf karena sudah berani melawan Gusti” Sebelum tubuh laksito benar-benar raib, nanar mata Laksito dan kata maafnya masih sempat jatuh dari bibirnya.

Dengan emosi yang masih bergulung didadanya, tertahan Gusti Bupati terbangun, sambil membenarkan letak ikat kepalanya yang sudah acak-acakan, tak kuasa menahan rasa amarah, kecewa, dan penyesalan yang kini mengecamuk didalam batinya.

Nafas Bupati masih terengah-engah sementara tangis Bi Ojah pecah mengiringi sosok Laksito yang kini raib ditelinga bumi musnah menjadi udara, Laksito pemuda yang sudah dianggap Bi Ojah seperti anaknya sendiri, rasa kehilangan yang teramat sangat Bi ojah rasakan.

“Toooo… Laksitooo…Aduuhh… aduuhh… ” Bi Ojah memanggil-manggil nama Laksito air matanya jatuh dilantai tanah lembab,di dapur.

Sementara Gusti bupati melangkah gontai perlahan, air matanya terbendung diantara kelopak matanya, nanar, berkaca-kaca tangan kananya memagang pinggangnya sementara tangan kirinya meregang dan menjulur kedepan.

“Tooo… Bocah Bagus… Maafkan Gustimu ini yang khilaf, gelap mata. Gelap hati oleh nafsu dan hasrat, sisik itu memanglah menjadi hakmu bukan hak-ku…” airmatanya kini menetes, lalu menyambung kata-katanya lagi. “Menyesal aku to… Menyesal… coba kalau aku tidak memaksa…pasti tak akan seperti ini kejadianya… kamu masih disini bersama kami….”

“Hamba memaafkanmu gusti…. Mungkin ini sudah menjadi nasibku… Tapi izinkanlah hamba terus mengabdi disini selamanya Gusti… ” jawab Laksito suaranya bergetar berat dan melirih.

“Baiklah… Laksito wujudmu sekarang sudah tidak ada, permintaan dan perintahku jika kamu ingin mengabdi selamanya disini tolonglah jaga rakyatku yaitu rakyat Brebes… dan karena kamu masih perjaka dan menelan sisik ula poleng (Ular Belang : Ind.) maka namamu aku ganti menjadi Jaka Poleng…”

Begitulah, konon Ula Poleng bermahkota emas itu salah satu abdi Hyang Anantaboga Dewa dari bangsa ular yang turun ke bumi, siapapun yang sudah terjamas untuk melihat proses pergantian kulitnya akan mendapatkan berkah dari sisiknya yang bertuah, konon sisik itu merupakan jembatan penghubung dua dunia yaitu dunia gaib dan dunia nyata, jadi siapapun pemilik sisik itu secara langsung bisa hidup dalam dua dunia, salah satu kelebihan lainya ialah pemilik sisik tersebut secara langsung memiliki ajian upasanta yaitu lidahnya berbisa jadi makhluk hidup apapun yang dijilatnya bisa menemui ajal, serta mampu berjalan diatas sungai dan samudera.

Sampai saat ini masyarakat Brebes beranggapan Ki Jaka Poleng masih hidup, beberapa orang yang pernah melihat penampaka Ki Jaka Poleng dalam wujud satria gagah berwajah manusia berbadan ular, mitos masyarakat di pesisir Kali Pemali berkembang bahwa sebelum banjir datang Ular Jaka Poleng membendung hulu sungai pemali kala sore sebelum banjir datang, agar sapi yang digembalakan dihutan dan orang-orang yang bekerja disebrang kali pemali bisa pulang dengan selamat.

Inilah legenda dari Brebes kisahnya turun temurun diceritakan dari waktu ke waktu, meski tak ada bukti autentik seperti Batu Malin Kundang tetapi kisah ini banyak mengandung ibrah dan tauladan lainya, bahwa amanat itu sangat berharga dan tak ternilai, bahwa kekerasan dan pemaksaaan kehendak akan selalu berakhir dengan keburukan. Kebanyakan orang tua di daerah Brebes akan melarang anaknya memegang sisik ular, takut akan bernasib sama seperti Kisah diatas, seperti penulis yang mendapat cerita legenda ini dari orang tuanya saat bertanya kenapa kita tidak diizinkan memungut sisik ular? Diceritakanlah Legenda Brebes : “Jaka Poleng”, selain alasan kesehatan.

Gatotkaca : Yang Punya Pringgadani

Ilustrasi Gatotkaca/google

Ilustrasi Gatotkaca/google

Tahukah siapa Gatotkaca…?

Gatutkaca adalah putra dari salah satu tokoh Pandawa yang mempunyai kuku pancanaka yaitu Bima alias werkudara dengan seorang putri dari Negeri raksasa Kerajaan Pringgadani sekaligus penguasa hutan yaitu Dewi Arimbi.

Gat yang berarti bulat, dan Utkaca yang berarti kepala, nama Gatutkaca diberikan karena kepalanya saat baru dilahirkan bulat seperti kendi (tempat air minum dari tanah liat : Ind.), tersebutlah nama Gatutkaca.

Kejadian-kejadian aneh mengiringi sepanjang kelahiran Si calon manusia setengah raksasa yang bisa terbang tanpa sayap, dan nantinya mendapat julukan “otot kawat tulang besi”.

Antaranya, sudah setahun dari masa kelahiran bayi Gatotkaca yang kala itu bernama Jabang Tutuka, tali pusarnya tak bisa dipotong, sudah berbagai macam alat pemotong digunakan namun tak ada satupun yang berhasil.

Raden Arjuna sebagai paman ikut prihatin dengan keadaan keponakanya memutuskan untuk bersemedi mencari petunjuk Sang Dewata :

Arjuna : “Kakang Bima… aku mohon izin untuk pergi bersemedi memohon petunjuk Sang Batara, agar tali pusat Jabang Tutuka bisa dipotong” arjuna memohon izin ke Bima.

Bima : “Hmmmmmm…. Silahkan adiku…do’aku menyertaimu…”

Arjuna pun berangkat bersemedi, Batara Guru yang mengetahui kejadian itu mengutus Batara Narada untuk turun ke bumi menemui Arjuna dan memberikan Pusaka Kontawijaya untuk memotong tali pusar si jabang tutuka.

Malang, pada saat yang sama Adipatih karna pada saat yang sama juga sedang bertapa mencari pusaka, dengan bantuan ayahnya Batara Surya mendadak langit menjadi gulita, karena sosoknya yang mirip dengan Arjuna Batara Narada pun memberikan Pusaka Kontawijaya pada Karna.

Setelah awan tersibak terlihatlah Karna, Batara Narada segera menyadari kesalahanya dan setelah bertemu Arjuna dia mengatakan kalau ia salah memberikan pusakanya pada Adipati Karna.

Arjuna kemudian mencegat Adipati Karna terjadilah duel sengit dua kesatria memperebutkan pusaka. Nasib mujur, Karna berhasil meloloskan diri membawa Pusaka yang nantinya akan menjadi senjata pembunuh bagi Gatotkaca, sedangkan Arjuna hanya berhasil membawa warangka-nya (Sarung-nya : Ind.).

Namun sarung pusaka kontawijaya yang terbuat dari kayu mastaba pun bisa dipergunakan untuk memotong tali pusar Gatotkaca, hanya saja keajaiban terjadi wadah pusaka itu masuk kedalam perut Si Jabang Gatotkaca, menurut Kresna itu akan menambah kekuatanya.

***

Gatotkaca : Bayi Kesayangan Para Dewa?

Kocap kacarita Si Jabang Putut Tetuka (Gatotkaca Bayi) dipinjam Batara Narada, untuk menghadapi Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket yang kala itu sedang mengobrak-abrik kayangan, karena Niatnya untuk melamar Bidadari Dewi Supraba ditolak oleh Hyang Pramesti Batara Guru, atas perintah rajanya Prabu kalapracona.

Aneh. Semakin patih sekipu menghajarnya bayi Arimbiyatmaja (Nama lain Gatokaca) malah semakin kuat, dengan alasan tidak tega patih sekipu menyerahkan kembali Gatotokaca bayi pada Batara Narada dengan alasan akan kembali melawan Gatotkaca setelah ia dewasa, alas an untuk menutupi rasa malunya karena tidak dapat mengalahkan anak bayi.

Gatotkaca kemudian dijeburkan ke kawah Candradimuka di Gunung Jamurdipa, Para Dewa menaburi Jabang Tetuka dengan berbagai senjata pusaka, alih-alih mati dalam panasnya kawah candradimuka, Jabang tetuka keluar menjadi kesatria dewasa dan semua pusaka yang dilemparkan para dewa sudah melebur dan bersatu dalam raganya, itulah kenapa Gatotkaca dijuluki “otot kawat tulang besi” karena tubuhnya tak bisa terlukai oleh senjata apapun.

Lalu sesuai janjinya berlangsunglah lagi perang tanding dengan sekipu, tidakberlangsung lama dengan sekali gigit patih sekipu tewas. Para pandawa dan sri kresna yang juga datang ke kahyangan memberi nasihat kepada gatotkaca untuk tidak meneruskan perangai raksasanya, bertarunglah secara kesatria, dalam upacara tolak bala singkat gigi taring gatotkaca dipotong.

Kahyangan bersuka cita, semua Dewa dan Dewi bergembira, Batara narada kemudian meruwat jabang tetuka dan mengganti namanya menjadi Gatotkaca, dan sebagai cinderamata rasa terima kasih Batara Guru atau Sang hyang giri natha, memberikan tiga pusaka :

Pertama Caping Basunanda, yang membuat pemakainya tak bisa kena hujan dan terkena panas, kalau jaman sekarang seperti payung yang multifungsi.

Kedua, Kotang Antrakusuma, bentuknya seperti rompi yang membuat pemiliknya bisa terbang tanpa sayap dan kala malam berkobar-kobar sinarnya saat terbang.

Ketiga, Terompah Padakacarma, ini adalah sepatu yang bisa menetralisir energi negtif, jadi tempat yang angker akan terasa biasa-biasa saja, karena jin dan setan akan lari terbirit-birit melihat sepatu Padakacarma.

Demikianlah Gatotkaca menjadi bayi yang dicintai Para Dewa.

Ilustrasi Gatotkaca By. Edi Siswoyo

Ilustrasi Gatotkaca By. Edi Siswoyo

Setelah semuanya selesai gatotkaca bersama ayahnya aden Werkudara alias bima dan keempat pamanya serta Sri Kresna turun ke Bumi. Di bumi gatotkaca menjalani hidup sebagai kesatria, dia sangat mencintai saudara sepupunya Abimanyu anak dari Prabu Arjuna, kemana abimanyu pergi Gatotkaca bak pesawat pengintai terbang diatasnya.

Pada saat pamanya Prabu arjuna mengadakan sayembara yang memperebutkan anaknya Dewi Pregiwa, gatotkaca mengikuti dan berhasil mengalahkan berpuluh kesatria pilih tanding, setelah berhasil mengalahkan Laksmana Mandrakumara yang terhitung masih saudaranya sendiri karena ia anak dari Prabu Duryudana saudara dari pihak kurawa.

Setelah menikah dengan saudara sepupunya sendiri dewi pregiwa, gatotkaca mempunyai anak Sasikirana.

Gatotkaca benar-benar menjadi kesatria pilih tanding, dikatakan kekuatanya akan meningkat berlipat-lipat kala malam menjelang karena ajian gelap sakyuto yang dimilikinya.

Setelah ibudanya Arimbi merasa anaknya sudah cukup dewasa akhirnya gatutkaca diangkat sebagai Raja di Negeri Raksasa Pringgadani, Terkecuali Brajadenta, kesemua pamanya Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana semua sangat menyayangi Gatutkaca, dan Kalabendanalah yang paling Gatutkaca sayangi, meskipun Paklik Raksasanya ini berbentuk bulet , kerdil, tapi hatinya mulia, dan polos.

Brajadenta yang sudah terkena hasutan patih sengkuni bahwa seharusnya tahta Pringgadani jatuh ke dirinya bukan ke tangan keponakanya yang masih seumur jagung dalam ilmu pemerintahan. Akhirnya memberontak Brajamusti diperintahkan untuk mencegah dan menyadarkan saudaranya, terjadilahperang tanding dimana keduanya sama-sama meninggal, arwah brajadenta merasuk ke tangan kiri, dan arwah brajamusti masuk ke tangan kanan, maka makin bertambah pula kekuatan Gatotkaca… yang punya pringgadani.

Prabu Gatotkaca memerintah Negeri Raksasa Pringgadani dengan arif dan bijaksana, sampai tercapailah kemakmuran di Negerinya. Negeri yang letaknya berada ditengah-tengah hutan itu menjadi Negeri yang makmur dan mahsyur, disegani oleh Negeri lainya karena mempunyai pemimpin yang berwibawa dan sakti mandraguna.

Tanah Lapang Cintamu [Puisi Kartini Rangkat]


Kartini, kupu-kupu kecil idaman mata, dambaan jiwa. Hari itu ia terbang melandai diantara mentari cemerlang, mengepak rembiak sayapnya menuju tanah lapang cintamu, dibulan empat bulan dambaan bulan kenangan.

Lindap cahaya di penghujung tanah lapang, seribu mata penjajah berkeliling menghakimi.Bengis, “inikah zaman yang kejam itu” hatinya bergejelok, darahnya mendidih, kalbunya berkidung aku harus pulang.

Dikanan kirinya kaumnya terpasung, meraung memohon ampun, ditodongnya wajah-wajah yang memerah, tanpa rias, tanpa bias, “Mereka takut… pada zaman kejam itu”

Kartini, berdiam melepas seribu pasung, tiada lagi gentar didalam hatinya, terang…terang… bersama rasa sayang, tenang…tenang… kidung laraku kecil akan hilang bersama laramu. Kemudian ia berkata suaranya bergetar menggema cemara “Lihatlah tanah lapangku ini… tanah lapang pemberian sejati dari ibu pertiwi, disinilah kita akan membela siapa yang membelai kita, dikau jua yang berdiam diketam rasa takut mencekam, kini masanyalah kita bangkit, membuai balas ibu pertiwi, di bawah bumi diatas langit diantara surga mari kita persembahkan nyanyian dan kita guncangkan bumi, kita katakan pada anak-anak, adik-adik, ayah, dan ibu dan kakak kita, bahwa kita bisa”

Sekali lagi, tanah lapang menambatkan kita dengan angin yang sangat sepoi, satu desir cemara tak bisa terdengar diantara berjuta desirnya. Kemudian jiwa yang telah terlepas dari pasungan itu pun saling bangkit, meski sakit, bekas pasunganya masih menggurat diatas kulit kaki, tapi apalah artinya itu tak sebanding demi pembebasan bertutur kata, merangkai kata, menghitung kata, menulis dan membacakan kata, dari mulut-mulut yang dulu purba.

Bagaimana Kartini bisa berdiri, dulu ia tak dalam keseimbangan hati, ia remuk sendiri tercampakan dipinggir pantai bersama pasir, musnah ditarik ombak, kemudian hancur menghantam karang. Itulah guratan hukum yang diterimanya, ia manusia yang selalu rindu kebebasan, tercebur lebur ia dalam kabut tekad dan peleburan demi kaumnya.

Ia yang dulu sendiri tanpa wujud, berlari mengembara,meratap dan menangis, mencari-cari kemana ia akan dibentuk dan membentuk, kalian tahukah hawa kalianlah bentuk dari Kartini, karena begitulah sunah Tuhan yang tanpa ujud akan selalu berusaha mencari bentuk, tak akan pernah berhenti ia sampai menemukanya, dari itulah jagalah wujud kalian sebagai kartini zaman paling baru, zaman kejam dengan kekejaman baru.

Ialah penyunting gelap untuk kalian yang sekarang telah menjadi bulan, matahari, bintang, dan benderang lainya. Sekali-kali larutlah dalam kabutnya dan hayatilah kehidupan dari asal kejadian, tak akan kalian membumbung keangkasa tanpa terbelah pecahnya langit yang membelenggu mata dari penglihatan, dan kini kalian berpestapora dalam gairah dan kebebasan?renungilah.

Gugurnya pendekar bangsa, matinya pendekar kaumnya, adalah semata-mata mencari hakikat tanah lapang cintamu, demi terdengarnya jerit suara tangis kalian oleh telinga kehidupan, demi dihiraukanya bentuk kalian dari mata kehidupan, demi direngkuhnya kalian dari tAngan perkasa kehidupan.

Lihatlah sekarang kalian yang dulu sepi suara tanpa gema, kalian yang dulu penyantun derita, kalian senyap sekali dari daya pendengaran. Dialah ibu kita semua Ibu kartini sang pengukir jiwa, pemberi bentuk dan citra takdir baru untuk Sang Hawa.

Terinspirasi dari sebaris kata : “Habis Gelap Terbitlah Terang” [R.A. Kartini 21 April 1979 s/d 17 September 1904]

Ilustrasi/wikipedia

Ilustrasi/wikipedia

****************************************************************

DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

Rindu Adamu

Sinar atas permukaan hati
Hu penghalau galau
Lepaskan selimut
Tanpa bulu, tanpa sayap, terbang

***

Mata, rindumu lindap
Penuhi sudut hatiku
Ganas benam aku dalam
Ya Maha… saksikanlah aku gugur dalam

***

Rindu adamu (*)


Engkau Jua

ilustrasi/google

ilustrasi/google

Engkau pasti tahu

Saat pandang saling temu

Lebur, rasa, Lebur cinta

Gemetar, tersembunyi sebalik senyum

***

Dengus tanpa irama

Getar tak tentu nada

Bersatu berdentang-dentang

Dalam hati berkumandang

***

Disebalik senja engkau jua

Diujung mimpi engkau jua

Kemana senja pergi engkau jua

Kemana mimpi berlari engkau jua

***

Aku hanya jiwa

Penghimpun cinta dan ingin

Ketika angin berhembus

Berlari aku mengambil jubah

Ketika laut pasang

Sembunyi aku diantara karang

***

Tapi, adamu singgah

Tak aku dapat berlari pun sembunyi

Kuterima badai, kucerca gelombang

Kutangkap nafas,cinta, dan nama

***

Engkau pasti tahu

Kita berjalin sejalan

Menapak nada cinta setapak

Meracak ia menuju pantai

Di kuta dikau diam tergeletak

***

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...