Sabtu, 26 Februari 2011

Dari Gubug Reot Di Pesawahan Desa Rangkat

Maksudnya Gambar Gubug dan Sawah Rangkat ( Oleh Edi Siswoyo )

Maksudnya Gambar Gubug dan Sawah Rangkat ( Oleh Edi Siswoyo )

Sudah satu jam setengah sepulang sekolah, aku terduduk di sebuah Gubug reot di pesawahan desa Rangkat, tempat yang tanpa sadar akhirnya menjadi salah satu tempat favoritku, selain tercenung dipinggir kali, menumpak batang Pohon Waru nan rindang, batangnya doyong ngeluyur keatas kali yang air putihnya gemericik, sekali-kali keruh menguning kecoklat-coklatan karena terwarna tanah dari hulu Gunung. Sekali dua kali dulu, aku sering berangkat ke gubug reot itu dengan bersungut-sungut, bahkan seplastik makanan kecil yang Ibu bungkus untuk menemaniku melakukan pekerjaan remeh-temeh itu sering sengaja aku tinggalkan sebagai bentuk protes kecil agar Ibu tak selalu menyuruhku untuk menarik tali rafia yang dihubungkan dengan jelaga dari bambu atau kayu jati muda diatasnya tergantung kaleng-kaleng bekas, kalau ditarik bunyinya akan mengagetkan koloni-koloni Burung Pipit yang bergerilya di petak-petak tanaman padi Ibuku. “Klontang… klontang… klontang…” ya pekerjaan free-lance selain menjadi pelajar SMP, mengusir burung.

Lama kelamaan aku menikmati pekerjaan freelance yang ibu berikan ternyata menikmati kacang tanah rebus berpolong tiga, sembari mendengarkan lagu - lagu Pop Sunda dari Radio Siaran Pedesaan itu sangat asyik sekali, seraya hembusan angin, suara Nining Meida yang berduet dengan Mang Adang Cengos semakin mendayu - dayu, gubug reot yang sempoyongan terhalau angin kian kanan kian kiri seperti sedang mengikuti dentang - denting kecapi yang mendominasi reffense lagu Potret Manehna, aku ikut larut sesakali saat aku ikut turut berdendang, “Potreeeet…manehnaaaa…Potreeeet…manehnaaaa…” kupada-padakan dendanganku mengikuti cengkok khas sunda Biduan pop sunda yang termashyur seantero parahyangan ini padahal suaraku fals tak karuan, tak peduli kuikuti saja lengkingan suara menyentuh oktaf tertinggi dan jatuh lagi menukik ke oktaf terendah, walhasil ngos-ngosan tersedak dan keteran.

Gubug reot ini juga kadang berubah fugsi menjadi tempat diskusi bebas, kadang menjadi bak arena tinju bebas aku dan uleng sering memperebutkan ubi bakar terakhir setelah ubi yang diperebutkan hancur berantakan kami terbahak bersama, atau kadang saung beratap ilalang, angin yang berdesir, irama dari gesekan daun-daun padi, selalu memberiku inspirasi lebih untuk menggubah puisi tentang pemujaan dan harapan, ya… sekejap gubug reot ini berubah menjadi bak gua candrakila yang sepi senyap tempat Raden janoko tenang bertapa, untuk menerima wahyu jendrahayuningrat, aku pernah sukses membuat beberapa puisi dan sajak dari gubug reot ini, dan beberapanya pernah aku kirimkan ke surat kabar dan majalah nasional terbesar, walhasil aku sering mendapatkan kiriman amplop tebal dari redaktur yang berisi puisi dan sajaku yang dikembalikan, disertai surat permohonan maaf karyaku belum layak untuk dimasukan dalam kolom cerpen, sajak atau surat pembaca, di Media tersebut, tapi aku tak pernah berhenti untuk menulis, sesekali sajaku yang berjudul “Lantunan Mahabah Untuk Sang Mawar” pernah diapresiasi besar-besaran disekolah dan diganjar dengan hadiah satu lusin buku pada saat lomba dalam rangka memperingati Hari kemerdekaan nasional, tapi bagiku aku sudah siap untuk melanjutkan tongkat estafet Almarhum W.S Rendra, dan Kahlil Gibran. berlebihan mungkin?

Apatah lagi alam Desa Rangkat nan indah yang membuat buku gambar yang aku bawa selalu habis , keindahan yang selalu disajikan gratis selayang pandang, sepanjang jalan, adalah pemandangan bentangan pesawahan rangkat, gunung-gunung yang perawan, dan awan-awan dilangit rangkat yang nampak berarak-arak berkejaran satu dan yang lainya, meski tak jarang sudah habis buku gambarku tapi belum satu gambar pemandanganku aku selesai gambarkan, selalu berhenti saat harus melukiskan awan Rangkat yang dicumbu pelangi terlalu indah untuk aku lukiskan.

Tapi, dari Gubug reot di pesawahan rangkat ini pernah tercurah do’a dan harapan dari seorang anak desa yang sangat merindukan suasana damai, rasa tenggang rasa, saling asah, saling asih, saling asuh, seperti yang ada di desa Rangkat ini bisa di copy paste-kan ke desa - desa yang lain diseluruh penjuru Nusantara, agar air mata dapat terhapuskan, tiada kemarahan, hanya ada satu kata damai. Ini cuma harapan kecil dari anak kecil, dari desa kecil, jika orang dewasa cuma bisa duduk berleha disebuah kantor dilembaga yang amat penting untuk kebaikan masyarakat dan Negeri ini, tolong berbuatlah. Aku anak kecil, dari desa kecil, yang punya harapan kecil bahwa orang dewasa punya suara yang lebih kuat untuk mengatakan tidak pada kecurangan, korup, dan kebohongan. Pena yang kami pegang sekarang hanya bisa digunakan untuk melukis dan menulis hal atau semua yang remeh temeh, tidak seperti kalian pembesar Negeri ini, pena kalian digunakan untuk menandatangani dan mengesahkan hal - hal besar yang tidak pernah kami ketahui untuk kebaikan kami atau keburukan, jika kalian tidak bisa menolak kecurangan, setidaknya ubahlah cara anda jangan nanti-nanti sekarang detik ini juga, mungkin selepas lulus SMP nanti tidak akan melanjutkan sekolah lagi, tuan-tuan sekalian tak mungkin akan tertawa terus menurus sampai kalian tidak mendengarkan sudah berapa anak-anak yang puas menamatkan pendidikan sampai sekolah dasar, atau bahkan tidak sekolah sama sekali.

Sebuah do’a kecil, dari anak kecil, dar desa kecil Rangkat, Semoga anak-anak putus sekolah, Benar-benar pengemis jalanan, dan sejuta anak yang mati kelaparan di Negeri ini semoga kalian masukan dalam daftar prioritas kalian semua pembesar dan pemimpin Negeri ini, sudahkah…?

Teriring, Ya Tuhan Semoga Pintu Gerbang “Daranglah Ke Desa Rangkat” tetap kokoh berdiri, tiada siapa atau apapun ayng mampu membuatnya lepas dari pondasi, Semoga Mommy Tak lelah untuk memulas kembali warna catnya yang agak pudar memendar, Nian pula semerbak wangi “Rampai Bunga Rangkat” Semoga keharumananya selalu tertebar searah berarak menjumpai indera-indera pencium setiap rakyat rangkat, terima kasihku untuk “Kembang” yang tak lelah menyiramnya dan memangkas rampai yang akan meliar. Kalian tersenyumlah aku berhatur mengatur puji, mengirim do’a semoga Desa Rangkat akan selalu ada untuk kita. (*)

SELAMAT BERAKHIR PEKAN… (^_^)

Sajak Putih

Sajak putih…

Biar saja kau pun aku memutih

Dipulas rindu,rintih dan kelu

Dilukis galau, mengigil dan bisu

***

Aku menamakanmu sajak putih

Tertulis didaun-daun hatimu

Tersembunyi dibalik mihrab kalbumu

Kutulis kala angkara menjura, kubaca kala gempita menerpa

***

Oh…Namamu sajak putih

Jabatlah tangisku seraya senyumu

Oh…Namamu elis si gadis bertudung putih

Mengibar-ngibar sukacitamu berdebar-debar

***

Iya kaulah penanya terakhir,siapa kekasihku?

Orang yang mengasihimu ialah kekasihmu

Jika setiap pengasih adalah kekasihmu

Lalu kau tahukah Yang Maha Pengasih Ialah kekasih sejatimu

***

Elis, gadis dalam sajak putih

Akan kutulis syair mahabah putih dilembar tudungmu

Kulukis,kumainkan musik-musik kata nan mistis

Kuberi nada,kuberi irama,kuberi nama

Sajak putih

“Ratu Kecantikan diatas kursi roda”

Nyaris usai, tak habis semalam kurangkai, merangkai musik-musik kata berantai, kekasihku akan tersenyum membacanya aku berandai-andai.

Dulu umurku 18 tahun saat aku mengenalmu, gadis berkerudung yang sempat membentaku didepan pintu gerbang sekolah “Push-up sepuluh kali cepat…”, “ya kak…” Kujawab kuletakan tas ditanah kumulai push-up.

Nasib, mempertemukan kita lagi, pada Masa Orientasi Sekolah (MOS) SMA kamu membentaku lagi karena aku nyeleneh tak memakai papan kardus 30 x 30 senti bertuliskan “AKU BODOH”, tak kugantung dengan tali rapiah seperti yang lain membusung dada dikerjai kakak kelas, hardikanya lebih keras daripada yang sering aku dengar dulu waktu di eS.eM.Pe.

“Lailatuka saidaah ya ukhti…” ini sapaan pertama kali yang membuatmu mengibarkan senyum beberapa senti, gedoran pertama dalam ikhwal sahabat yang nantinya akan menggedor hatimu, “Lailatuka saidaah ya akhi…Man Hazza…?” aku terbata dan berkata “i…i..i..ini novel Al-Ajnihah Al-Mutakasirrah…” heranya aku kakak kelas yang tiga tahun terakhir kukenal kasar, favorit membentak, ogah mengantri dikantin, pernah mematahkan tongkat pramukaku, kini sedang beramah tamah dengan aku dan hatiku.

“Bolehkah kupinjam…” permohonan yang pasti kujawab “iya” aku terlena sampai aku lupa mengambil 4 carik kertas yang berisi sajak kekagumanku pada seorang kakak kelas wanitaku bernama “Nur khafidotul Hikmah” gadis yang baru saja berlalu meminjam novel “sayap-sayap patah” ku.

Ada kata cinta yang aku gubah, ada ucapan “Aku menyayangimu Nur…” dalam bahasa arab yang aku tulis sehalaman penuh. Aku berharap dia lupa membaca bukunya.

“Serbuk cinta memang halus, tak terasa walau sudah masuk, tiada guna memberi nasihat karena tak ada maghfirah, tak ada hidayah, bagi para pecinta, maghfirah dan hidayah adalah cinta itu sendiri, dalam himpitan rasa sayang, rindu tak terbatas, pada sebuah nama Nur Khafidohtul Hikmah, aku akan bertasawuf pada cinta, inilah tasawuf cintaku… terimalah”

Bait-bait itu disalin dengan huruf latin rapih, hanya namanya saja diganti dengan namaku, amplop biru bermotif mawar merahasiakan apa yang yang ditulis oleh hatimu, dua malam terakhir aku akan tak bisa lelap, dan memandangi surat hati ini.

“aku memanggilmu ‘antum’, ‘akhi’, sesekali ‘heh’, aku menyebutmu ’si tak tahu aturan’, ‘preman kampung‘ sesekali ‘bajak laut’ , izinkan aku menghalaumu wahai adik kelas yang kala pagi menyingsing menyusuri jalan kerikil dengan mata tak lepas dari buku dan sore beringsut kupandang kau dari ruang komputer sedang menuliskan pemujaanmu pada seorang wanita, aku akan terus memanggilmu dengan panggilan “kekasih”.

Dua tahun berikutnya adalah masa berkasih-kasihan yang panjang, aku terus menjagamu kala kau terbaring sendiri di ruang anggrek Rumah Sakit Islam, belajar memapahmu kembali berjalan, menyuapimu makan, aku tak lelah mendengar kata “bosan” darimu sambil menapihkan piring nasi dari tanganku, aku terus memelukmu kala kau fikiran bahwa seumur hidupmu akan habis tercenung diatas kursi roda.

Apa saja demi cinta akan aku lakukan, apa saja demi melihatmu tersenyum akan aku tunjukan, menjadi badut sesekali dan membuatmu terpingkal-pingkal sampai hendak jatuh kamu dari kursi rodamu, apa saja…..!

Inilah yang akan kau temukan dari diriku, yang dulu bagai air dan minyak, kau berkata “na’am” dan aku berkata “la”, aku berada di pihak “Pandawa” dan kau berada di pihak “Kurawa”, namun sekarang kita menggalir dalam alur yang sama, kita disinari oleh rembulan yang sama, sadar aku tak dapat hidup tanpamu, kau pun demikian.

Mawar yang selalu kusemai dibelakang rumah disamping kandang ayam telah bermekaran, kupetik salah satu yang termerah untukmu, andaikan…andaikan… sampai sungai pemali mengering, aku akan memapahmu ikut melihat pesta pora penduduk mengais ikan yang menggelepar-gelepar diatas lumpur.

Kabar bahagia dari inbox e-mailku, kakimu sudah setindak melangkah menjauh dari kursi rodamu, tapi bagiku kau hampir berlari menemuiku di jakarta, membawakan aku serantang sarapan tumis buncis, cah kakngkung, dan tempe bacem, yang kau masak penuh dengan sukacita cinta.

Selepas gajian nanti aku akan mengantri tiket di Setasiun Gambir yang suara kretanya bergemuruh bak rasa rinduku padamu, sorenya dengan kereta malam Cirebon Express, aku akan langsung menemuimu bunga hatiku, bunga yang mekar diatas kursi roda, akan aku dorong dan sesekali kukecup ubun-ubunmu, berkeliling menikmati pagi di kaki Gunung Slamet, megejar-ngejar embun, terbahak bersama tak menghiraukan sweater kita yang tak berarti dibasah embun Guci, kan kurangkai sulur-sulur labu, bunga oyong, dan daun wortel kujadikan mahkota dan kusematkan kekepalamu, jadilah kamu ratuku untuk selamanya, jadilah Miss Universe, Miss Word untuku.

Lima belas menit kita akan saling pandang, lebur dalam romansa-romansa pekatnya cintaku padamu, cintamu padaku, beberapa saat aku akan mencium keningmu dengan mata yang terpejam, hanyut bersama, dalam buaian aku kamu…kamu aku…, mata kita terbuka dan kuusap dengan dua jempolku bulir-bulir air mata yang memberai keluar dari matamu, kemudian aku kuestafetkan senyumku dengan mencolek ujung hidungmu yang selalu kuingat dimana kuberada dengan ujung jari telunjuk, kita pun tersenyum bersama seraya berucap lirih “Ratu Kecantikan diatas kursi roda”.

Belaian terakhir untuk seseorang, yang sedang menanti kabar “aku sudah sampai di Tegal…”, duduk termenung diatas kursi roda, menunggu dibalik tirai jendela yang tersingkapkan selayang pandang dengan tanganya, kapan suara ojek dengan motor butut menderu dihalaman rumahnya…? menghantarkan sang adik kelas yang kini sudah menjadi kekasihnya pulang dari Negeri Rantau.

Bersambung >>

Selamat berlibur, dan menjumpai orang-orang terkasih memeluk, bersukacita dengan ikhlas dalam keadaan dan hidangan, serta perlakuan apapun dengan mereka, temuilah kekasihmu yang kini sedang menunggu kekasihnya diatas pembaringan dirumah sakit atau pengobatan alternatif, tercenung diatas kursi roda, memaku dipintu keluar terminal, bandara, setasiun, lapas, menantimu, sebelum sore dan rasa lapr mengantarkan dia pulang kerumah barunya.

Kalo Ngga Nulis Ya Nglukis...

Minggu, 13 Februari 2011

Tafsir lir-ilir

Tafsir lir-ilir

Resah menafsir-nafsir harga cabai kapan turun, turut gumbyuk meremah-remah rambut maklum saudara saya yang buka warteg (warung tegal) , masih ngresula mengupas tanya penasaran “Kapan harga cabai turun…?”, daripada bingung menafsir harga cabai 2 hari kedepan, saya mau nyoba menafsirkan tembang lir-ilir, yang pernah diajarkan waktu nyantren dulu.

Masio, aku sendiri masih awam masalah tafsir menafsir, apalagi tafsir tentang tembang ringkas namun bersahaja dan sarat makna yang tak jelas siapa penggubahnya entah Sunan Kalijaga atau gurunya Sunan Bonang, yang jelas bukan Karya pentolan Soneta “Bang Haji Rhoma Irama” yang sama-sama berdakwah atau melakukan dengan tembang-tembangan.

Yang pasti nyanyian ini sak elingku sering saya nyanyikan pas puji-pujian sebelum melaksanan sholat dulu, disebuah surau kecil disudut kampungku, atau kalo lagi pas katemahan bulan benderang, aku bareng teman=temanku bersila membuat lingkaran, bergandeng rangan, lalu dengan badan terhuyung-huyung kanan kiri, aku bareng-bareng nyanyiin lagu ini :

Ilir-ilir, ilir-ilir

Tandure wus sumilir

Kang ijo royo-royo

Ta’ sengguh penganten anyar

Cah angon, cah angon

Pene’no blimbing kuwi

Lunyu-lunyu pene’no

Kanggo masuh dodotiro

Dodotiro, dodotiro

Kumitir bedah ing pinggir

Domono dlumatono

Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padang rembulane

Mumpung jembar kalangane…

Yo surako, surak, horeee..

***

Ilir-ilir, ilir-ilir, Tandure wus sumilir, Kang ijo royo-royo,Ta’ sengguh penganten anyarm, Gebyar-gebyar suka cita suasana kelahiran baru, bumi sudah benderang, pohon-pohon dan embun saling melingkup senyuman, awan berarak tak enggan menyungging senyum, dedaunan pun ikut bergembira bersama indahnya sunah pagi hari, aliran darah, degup jantung, detak nadi, senada bergairah bak tepak-tepak gairah pengantin baru.


Cah angon, cah angon, Pene’no blimbing kuwi, Wahai kafilah-kafilah, hai… manusia yang sedang menggembalakan hatinya sendiri diatas padang keimanan, lekas Panjatkanlah do’a Lunyu-lunyu pene’no, Kanggo masuh dodotiro, Meski licin, meski harus bersusah payah, panjatkanlah doa… panjatlah belimbing bersegi lima itu, belimbing keimanan dari keyakinanmu, untuk membasuh pakaian jiwa raga, akidah dan akhlakmu.


Dodotiro, dodotiro, Kumitir bedah ing pinggir, Aduhai… lihatlah wahai kau gembala hatimu sendiri, pakaianmu terseak-seok, mengibar-ngibar lalu terkoyak sobek di tepi-tepinya hampir habis pecah berperca-perca.


Domono dlumatono, Kanggo sebo mengko sore, segeralah, jahitlah, sulamlah, tisiklah, karena itu jamak, itu hayat, seperti membasuh badan (mandi), sudah tahu akan kotor, mandi juga, berdebu lagi, kotor lagi, mandi lagi, menemukan keimanan dari keseharian, tanpa terasa, sucikanlah lagi, setelah kotor, bersucilah lagi…untuk menghadap bertafakur dihadapan senja nanti… (Keimanan dipersiapkan dalam keseharian, dibiasakan, untuk menuju kala senja, kala kita sudah senja, kala maut itu datang/seja : kematian)


Mumpung padang rembulane, Mumpung jembar kalangane…, Lekaslah selagi ruang itu masih ada untukmu, selagi matamu masih nyalang menatap dunia, selagi waktumu masih ada untuk menanam dan menuai amal ibadah di ladang-ladang keimanan , dunia adalah ladang itu, sebelum habis masamu, sebelum senjamu datang, sebelum detik-detik itu datang, detik dimana kau akan susah menghela nafas, detik dimana kau akan dise.


Yo surako, surak, horeee.., Jika kau mengerti wahai aku dan anda para penggembala hati kita masing, BERSORAKLAH….MARI BERSORAKLAH…SORAK HOOREEEE….


Sekian, Semoga bermanfaat. Waa billahi taufiq wal’ hidayah, wa ridho wal innayah.

Selamat melanjutkan weekend yang tinggal 12 jam lagi, bagi yang libur.


Assalamualaikum Ya Akhi… Ya Ukhti…

Sabtu, 12 Februari 2011

Jendral Spiderman dan Jendral Soedirman

12974969641891280234

Jenderal Spiderman dan Jenderal Soedirman

Jendral Spiderman dan Jendral Soedirman (Refleksi Kepahlawan Nasional)

Huuuhh….Akhir pekan datang juga, masa rehat datang setelah dari hari senin sampai jum’at berjibaku dengan hitungan - hitungan tambah kurang, saldo, laba dan rugi, memasalkan satu dan dua angka dibelakang koma, nominal yang membuat otak kita berada dialur cepat, membuat saraf-saraf yang melingkup otak kita bagai jaring-jaring kaku, dan menegang.

Tempat yang bisa melemaskan urat sarafku biar rada kendor adalah toko buku, bukan sekedar untuk melihat kasir dan pramuniaganya yang bening-bening, tapi untuk membeli beberapa buku untuk menambah khazanah pengetahuan, sekaligus menambah koleksi perpustakaan pribadi yang tidak pernah penuh-penuh dari dulu karena selalu minus dipinjam dan tidak dikembalikan dan jadi merasa termiliki oleh si peminjam, “belum ada waktu…”, “Nanti yah…”, “Buat aku aja yah…”, alasan yang selalu kujawab “Ya wis arep kepriben maning…?” (Baca : Ya sudah mau bagaiman lagi…?)

Sampai disebuah mall dibilangan Jakarta Barat, sebelum menuju ketempat tujuan (Toko Buku) aku mampir di gerai mainan anak-anak yang lumayan gede, macam-macam mainan dijual disitu dari mulai satu set boneka perang rambo dengan tentara vietnam, sampai alat-alat perang yang mirip banget dengan aslinya, satu yang menarik perhatianku adalah boneka-boneka superhero (Pahlawan) fiksi ala barat lengkap dari mulai X-Men, Spiderman, Hulk, Iron Man, Terminator, (Mengerikan sebagian mukanya tercabik dan nampak wujud aslinya bongkahan besi silver padat yang matanya menyala merah), serta beberapa tokoh Monster yang diangkat dari film-film barat, seperti manusia serigala, vampire, dan masih banyak lagi.

Sejurus kemudian anak muda berambut mohawk disisir menjura keatas lancip diujungnya percis bentuk atap Rumah Gadang khas Minang , berkilau disisi-sisinya terkena satu persen sinar lampu downlight toko, sembilan puluh sembilan persen sinarnya mencorong jatuh kebawah mengenai menerangi seisi pajangan dan kaca etalase toko, “mau cari apa mas…ada yang bisa dibantu?” sapaan shopkeepper biasanya dibarengi dengan senyuman sepuluh senti bonus pertama yang diterima dan diharapkan calon pembeli adalah pelayanan yang asyik.

“Kalau satu set boneka adegan perang jawa ada ga mas…?” padahal aku sudah tau jawabanya pasti tidak ada, kali saja bisa pesan disini (Inden).

“Perang Jawa…?baru denger mas….?kalo perangnya Si Rambo ada mas lengkap…?” sedikit bingung dan mengalihkan perhatianku pada adegan boneka sylvester stalone, yang sedang memberondong pasukan sepuluh vietnam.

“Perang jawa biasa disebut Perang Diponegoro berlangsung dari 1825 - 1830, antara pasukan Jenderal Decook dan milisi rakyat pribumi yang dipimpin Pangeran diponegoro, itu nyata lho mas bukan perang Si Rambo yang fiksi…” Jawabku meyakinkan Si Shopkeeper bahwa aku tidak tertarik dengan penawaranya.

“Ohh…Maaf kita ga ada mas…yang lain aja mas… ini yang terbaru boneka Spiderman yang terbaru…kualitas exsport, Limited edition lho mas…” si rambut atap rumah gadang tak patah arang mencoba menawarkan opsi lain untuku.

“Sebenarnya saya nyari boneka superhero lokal mas…kaya Pangeran diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, dan berhubung saya Ngapakers (orang ngapak) saya nyari Pahlawan asal Desa Bodas Karangjati, Purbalingga yaitu Jenderl Anumerta TNI SoedirmanMeski aku yakin Gerai ini pun tidak menjual boneka Almarhum Panglima & Jenderal Besar itu.

Jenderal Soedirman Gambar Dijupuk Saka gambaronline.com

Jenderal Soedirman Gambar Dijupuk Saka gambaronline.com

***

Jangan bingung kalau anak-anak sekarang lebih mengenal dan akrab dengan superhero fiktif dari barat seperti spiderman, karena pengetahuan tentang spiderman lebih dulu masuk ke memory otaknya ketimbang dengan real superhero dari negeri sendiri.

12974955531619767056

Bocah Spiderman Pict. from My Edited Album

Diposter, di toko mainan, dimedia, yang paling sering sering muncul dan dipajang di etalase toko adalah pahlawan-pahlawan dari dunia barat.

Padahal Sang Jenderal dengan kopiah dan blangkon manual khas Banyumasan, tongkat, dan jas kebesaranya, dengan menaiki kuda hitam, atau Pangeran Diponegoro yang sedang pontang-panting diatas kudanya sambil mengacung-acungkan keris, aku fikir sangat bagus dan betapa gagah seandainya dibonekakan dan diperkenalkan kepada memory mentah anak-anak kita.

Pangeran Diponegoro Pict. Taked from history1978.com

Pangeran Diponegoro Pict. Taked from history1978.com

Tapi, pahlawan fiksi Barat bercawat merah, bertuliskan huruf S, atau manusia kelelawar (Batman), dan Manusia laba-laba (Spiderman), lebih dominan menguasai fikiran anak-anak, anak-anak kita lebih tertarik menurutkan dan mempelajari bioghrapy Peter Parker tokoh yang berada dibalik kostum Sipderman.

Bahkan disisi yang lain, boneka Barbie amat diminati, boneka barbie Princes Jasmine, padahal pahlawan-pahlawan wanita kita dari aceh tak kalah cantik Cut Nyak Dien, RA Kartini dan Cut Meutia, akan lebih cantik apabila di bonekakan, agar anak-anak kita tahu betapa wanita-wanita indonesia sangat kuat, tak kebal menyerah melawan penjajah.

Anak-anak kita semakin terlena dengan tokoh-tokoh pahlawan dan cerita kepahlawan fiksi ala barat. Alih-alih pemerintah memberikan solusi atau perubahan dari hal yang terkecil dulu, setidaknya memberi kemudahan untuk mendapatkan buku-buku Bioghrapy para Pahlawan Nasional, malah anak-anak kita dipaksa mempelajari buku-buku cetak tentang Pak Beye yang lagi belajar berkemah dan bermain gitar.

Miris, kita tidak pernah dijajah lagi sampai sekarang, kecuali dalam bentuk lain, dan kita memang tidak pernah dijajah kecuali kita berperang selama tiga setengah abad dengan belanda, disambung dengan si cebol jepang, dan kalau bukan karena jenderal-jenderal, dan pahlawan yang gagah berani, manalah kita bisa mengusir Londo dan si sipit jepang, dan dengan bangga memproklamirkan kemmerdekaan kita.

Oleh karenanya kitalah sebagai orang tua dan bukan hanya pendidik yang bertanggung jawab menjaga apa yang sudah mereka (Pejuang) lakukan untuk kita. Memperkenalkan mereka lebih dini kepada anak-anak kita adalah bnetuk usaha kecil untuk menghormati para pejuang yang sudah gugur, sebelum anak-anak kita kadung mengidolakan Batman, Superman, Spiderman, dan melupakan pahlawan kita yang gagah berani.(*)

Sekian, Selamat berlibur, mampir kerumahku yah : facebook-ku atau ke blog-ku.

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...