Jumat, 15 April 2011

Gilanya Aku, Penantian dan Indraprasthaku

Gilanya aku, rinduku pada bayangmu sangat, berlari dikau berlari… dari mimpi itu lahir berlari kau berlari, terhantam aku saat berjumpa dengan tapak kaki selamat tinggalmu. Tanganmu berlalu pun jentikmu jatuh terlepas dari genggamku, hilanglah dikau digelam cahaya di balik tirai.

——————————————————————————————————————————————

Cinta itu datang, kadang. Kebencian pun sama. Rindu itu datang, kadang. Luka pun sama menghancurkan rasa rindu. Tak peduli aku ini… bila dikauuuu… masih ingin berlari sedangkan dewa-dewi cinta sedang mengejarmu untuk dikorbankan diatas altar cinta. Hari-hari menyusahkanmu itulah musim kerinduan yang Gunturnya mengguntur-gemuntur hatimu.

——————————————————————————————————————————————

Jika kau bosan dan mulai rapuh berdirilah saja ditepi pantai, Esok ke esok demi esok menuju esok, di keesokan yang lain kekasihmu yang hayat dan bisu itu akan datang mengendarai gelombang. Pastilah… aku yakin pasti dendangnya akan membuat bumi dan langit gemetar, dan saat kesepian itu benar-benar mengantarkan kekasihmu yang sudah tidak bisu lagi kalian akan dikawinkan, kemudian lahir bayi dari masalah-masalah yang benihnya tanpa sadar kalian semai selama bersama, setiap pagi dan malam kalian terus menyiramnya dengan pertengkaran demi pertengkaran, bayi yang menjadi api dan menjilat dan membunuh kalian berdua.

——————————————————————————————————————————————

Janganlah percaya pada ramalan sang nujum dia hanya seorang yang tak pernah selesai menghitung bintang, sang penyeolah yang bersabda bak Tuhan, Sang penguasa nasibs seluruh manusia. Garis tanganmu bukanlah jalan takdirmu, do’amulah jalan pencerah dari gelapnya keyakinanmu akan Tuhan. Bakarlahlah langit dan guncanglah bumi dengan do’amu.

——————————————————————————————————————————————

Mari gandenglah tanganku ciumlah semerbak mawar yang mengambang-ambang tak bimbang diudara, bagaikan sekawanan camar berarak-arak diatas mega perawan yang mempesona. Sentuh aku, pandang aku, dengarkan dendang-dendang sang merak cantik namun perkasa, lalu engkau akan tenggelam hanyut dalam iramanya bagai mawar putih yang memenjarakan si semut dalam kelopaknya.

——————————————————————————————————————————————

Pada matamu yang tercermin kehausan, mataku terlalu tumpul untuk menangkap pandangmu, tak dapat pula kudengar dan kuraba hatimu yang didalamnya ada hati kecil yang menyembunyikan anak hati yang terselinap diantaranya kalbu, gerakanmu tak semerbak, nyanyianmu tak membuatku gemetar, sayapmu pun tak menyentuhku, lalu apa yang akan kau lakukan agar aku cepat mati, agar tak tersiksa dengan syair-syair tentang manisnya anggur, merdunya nyanyian kekasih, gerak gemulainya cinta yang membuatmu gemetar, kenapa aku tak merasakanya…?kenapa hanya sakit…sakit…dan sakit yang aku terima…?

——————————————————————————————————————————————

Ingatlah masa-masa penantian ialah benang, kita saling berdiri diatas gunung tinggi yang disebut waktu, dengan pembicaraan kita saling berjalan menurutkan benang, kaki-kaki kita yang purba tanpa mata melangkah meniti benang-benang penantian, sedangkan kasih sayang kita takan terputus hingga perjumpaan yang biru itu tiba.

——————————————————————————————————————————————

Kita baca lagi ayat-ayat pertemuan yag sudah menjadi kenangan dan hampir terlupakan, semuanya sudah kumazhabkan dalam buku-buku jiwaku, ialah mazhab cinta. Alangkah mulianya kita sang pecinta sebagai pengidung dari mazhab-mazhab cinta kita sendiri, bernyanyi dengan sukacita sungguh meski hati kita sedang terluka sungguh, tiada harapan lagi karena kalah pelita harapanmu, rumah hatimu yang megah itu hanya perkuburan belaka, bila kau tak menerimaku sebagai tetamu agungmu, sekali-kali pecahkanlah hatimu agar mampu kutangkap remukan hatimu lalu kau dan aku akan memadukan padankan hatiku jua yang pernah hancur. Alangkah malunya engkau wahai sang pemilik hati yang tidak pernah merasakan nikmatnya terbangun lagi dari kehancuran, hancurkanlah hatimu, tau kau tak akan pernah tersenyum dan mengartikan penderitaan.

——————————————————————————————————————————————

Untuk seseorang yang pernah menghancurkan hatiku, janganlah berpestapora selalu, seseorang telah membangun istana megah dari puing hatiku, pandainya ia memberi hiasan pada dinding-dindingnya dengan ketulusanya, wahai engkau sang pemilik hati, sekali-kali datanglah ke indraprastha-ku dari sebuah kekecewaan dan kecurangan istana ini terbangun, kini pemiliknya akan menyambutmu sebagai tetamu agung, agar kau mengerti bahak ini bukan sambutan kemenangan tapi segeralah sadari kesalahanmu dan pandanglah hidup dengan berbeda, kau butuh sedikit warna untuk membuatnya menjadi tujuan penglihatan semua manusia yang melewati indahnya taman hatimu.

——————————————————————————————————————————————

Cengkareng, H -4 sebelum bayar cicilan motor

By. Edi Siswoyo

SALAM.

Mawar Ragaku

Ilustrasi/Google

Ilustrasi/Google

Dikau tertidurkah
Gila…tak tahu aku
Samar dikau
Tersembunyi dibalik deru knalpot
Segera… segara…
***
Lucu sekali…
Laju motormu terkentut-kentut
Diboncengi seribu nafsu
Semakin berat…kolo mongso menanjak
***
Ini aku sunting bintang
Kukalungkan dilehermu
Jika masanya tiba
Aku jadi gelap,kan kutagih terang bintang
***
Percaya saja padaku
Es teh manis bukan sajak yang manis
Terajana juga bukan lagu merdu
Sama sekali tiada arti
Keindahan apapun tak berarti
Rasa apapun tak terkecap
Jika kau sendiri ragukan kemampuan
Tanganmu untuk mencengkram
Dan mulutmu untuk menerkam
***
Alah…percuma kuimbuh, hingga
Senyumu itu mawar
Cintamu itu durinya
Diuntai birahi kecupan
Hilang sucinya si mawar
Merahnya ragaku, Hilang pada hayatnya

***

Sekali lagi kau tertidur
Aku tak sudi berkata
Aku membencimu
Mawar ragaku
Pada hatimu, cintaku tertidur.

Cengkareng, 12 April 2010

By. Edi Siswoyo

Mawar Ragaku

Ilustrasi/Google

Ilustrasi/Google

Dikau tertidurkah
Gila…tak tahu aku
Samar dikau
Tersembunyi dibalik deru knalpot
Segera… segara…
***
Lucu sekali…
Laju motormu terkentut-kentut
Diboncengi seribu nafsu
Semakin berat…kolo mongso menanjak
***
Ini aku sunting bintang
Kukalungkan dilehermu
Jika masanya tiba
Aku jadi gelap,kan kutagih terang bintang
***
Percaya saja padaku
Es teh manis bukan sajak yang manis
Terajana juga bukan lagu merdu
Sama sekali tiada arti
Keindahan apapun tak berarti
Rasa apapun tak terkecap
Jika kau sendiri ragukan kemampuan
Tanganmu untuk mencengkram
Dan mulutmu untuk menerkam
***
Alah…percuma kuimbuh, hingga
Senyumu itu mawar
Cintamu itu durinya
Diuntai birahi kecupan
Hilang sucinya si mawar
Merahnya ragaku, Hilang pada hayatnya

***

Sekali lagi kau tertidur
Aku tak sudi berkata
Aku membencimu
Mawar ragaku
Pada hatimu, cintaku tertidur.

Cengkareng, 12 April 2010

By. Edi Siswoyo

Zaman Goro-goro “Asmarandhana”

Illustrasi Punokawan/Koleksi pribadi

Inilah zaman goro-goro, zaman dimana manusia/masyarakat dipimpin para pemimpin yang bertopeng, raja atau presiden-nya bertopeng sampai prajurit, perdana menterinya bertopeng, zaman goro-goro dimana jeritan rakyat dianggap angin lalu, masa bodoh rakyat menangis yang penting “Aku Bahagia…”, Zaman goro-goro zaman pestapora para badut, penjahat dihormati, ulama dan tokoh agamis tak didengarkan petuahnya, koruptor di istemawakan, hukum dipelintirkan dengan kata-kata penipuan dan diperjualbelikan, orang cantik diagungkan yang akhirnya membawa petaka, karena tak mempedulikan akhlaknya.

Inilah zaman goro-goro geger semua karena satu duit, dua wanita, tiga tahta. Rakyat pun menderita, Oohh…paling special goro-goronya adalah pencuri kapuk dihukum beneran, sedangkan pencuri uang rakyat dibiarkan berkelana melanglang dunia.

Zaman goro-goro zaman dimana penjahat menjadi raja.

Zaman goro-goro, Asah, Asih, Asuh, menyusut dan hampir hilang berubah menjadi Asa, Asi, Asu. Asa dimana pemerintah hanya memberikan harapan kosong pada rakyat, tak peduli keegoisan tetap berlanjut walau rakyat menjerit, Asi dimana yang menjadi pemimpin, public figure, serta orang terpandang hanya menonjolkan nafsu, dimana bisa mereka bisa menunjukan, pastilah nafsu serakah yang mereka tunjukan, saling berlomba memperkaya diri dengan cara-cara menjijikan, saling bangga dengan hubungan diluar nikah, dan bangga setelah berhasil saling menghancurkan rumah tangga masing-masing dengan alasan cinta yang sebetulnya hanya nafsu belaka, Asu dimana mereka bertingkah bak binatang untuk tetap mempertahankan jabatanya apapun dilakukan bahkan membunuh bila perlu pun dilakukan, hancurkan saja tak peduli, penegak hukum pun tak jauh lebih sama, menjual hukum demi memperkaya diri,.

Teruslah seperti itu, yang salah dibebaskan, yang benar dijebloskan, teruslah bernyanyi-nyanyi di bukit kesabaran rakyat, teruslah berpestapora di lautan tangis rakyat.

Goro-goro.

Zaman goro-goro, dimana membunuh atas nama cinta dan agama dihalalkan. Yang benar saja…?

***

Alam bolak-balik… angin bolak-balik… langit bolak-balik… manusia bolak-balik… akalnya manusia terbolak-balik…. OOOoooo…. Angin menderu-deru memporakporandakan gubug tinggi ditengah-tengah sawah… cepot oh.. cepot cepot berlari tungganglanggang sembunyi dibalik belukar, ahh.. sial Bagong tak mengerti kalau cepot adalah dirinya, masuklah cepot dan bagong bersatu, oh…dawala pun tak mengerti kalau petruk adalah dirinya, maka bersatulah petruk dengan dawala. Inilah alam demokrasi dimana kita harus saling mengerti dan menjaga serta menghormati dalam segala perbedaan. Bhineka Tunggal Ika.

Jagad dibangun lalu dihancurkan, jagad dibangunkan dari tidurnya lalu ditidurkan lagi untuk tidak menyaksikan keserakahan, untuk tidak menyaksikan rambutnya meranggas dan……

Gundul Oh Gundul… Jagad gundul karena manusia tak mampu menjaga amanat.

Bum iwis gundul… bumi wis gundul… panas-panas manusia berteriak-teriak panas-panas, sebagaimana banyak sudut-sudut surga didunia, maka cicipilah sedikit panasnya neraka… Oh Neraka dunia, neraka yang dibuat oleh manusianya sendiri.

Eeee.. dan budaya… eee… budaya dua Negara satu benua memperebutkan budaya, ada yang dicolong, ada yang berteriak-teriak sibuk mendakwa maling tapi tak menjaga budayanya, membiarkan anak-anaknya menggandrungi justin beiber, dibelikanya kaset, baju, bahkan menyedihkan sekali rambutnya di potong ala justin beiber, dan berteriak maling ketika ada Negara lain mengakui batik, tapi anaknya tak pernah dibatiki, belajar batik, membatik, atau dijelaskan ini lho nak batik? Yang diperkenalkan adalah ini lho nak AW, ini loh nak Rapp, ini lho nak pizza, mengutamakan Good morning ketimbang wilujeng enjing, menutup mata “Nak duegm-lah” tak berniatkah kalian memperkenalkan macapat dan budaya kearifan lokal nusantara lainya…?

Eeee… taukah kalian Satria hebat Antareja dan Antasena? Tahukah kalian rebab? Antareja dan Antasena adalah dua ksatria yang lahir dari kearifan kita sebagai orang jawa yang tak mau menelan semangkuk makanan budaya india dalam khasanah mahabarata. Dan.. eeee… rebab yang merdu tak kalah dengan biola itu adalah hasil dari metabolisme pencernaan kearifan budaya nusantara, biola yang dibawa inggris tak serta merta dipakai tapi dimodifikasi dahulu menjadi rebab.

Eeee… Begegek ugek-ugek mbel-mbel sa’ndulito…

Budaya itu busana bangsa, tapi budaya itu seperti mata air yang dari semburnya mengalir bebas kesegala penjuru dari hulu sampai kehilir. Hilirnya jauh sekali. Pakailah airnya gunakan airnya, tapi ingatlah dari mana sumber air itu berasal, akuilah budaya secara arif, jika tak mampu menjaganya setidaknya jangan pernah menyalahkan bangsa lain mempelajarinya asalkan tidak mengakui. “INDONESIA TANAH AIR BETA, PUSAKA ABADI NAN JAYA, INDONESIA SEJAK DULU KALA TETAP DI PUJA-PUJA BANGSA, DISANA TEMPAT LAHIR BETA, DIBUAI DIBESARKAN BUNDA, TEMPAT BERHIBUR DI HARI TUA, SAMPAI AKHIR MENUTUP MATA..” Ki Semar menutup ceracaunya dengan Indonesia Pusaka.

Asmarandhana

***

Aja turu sore kaki

Ana dewa nganglang jagad

Nyangking bokor kencanane

Isine donga tetulak

***

Sandhang kalawan pangan

Yaiku bageanipun

Wong melek sabar narima

***

Aja turu sore kaki, jangan tidur terlalu sore, terjagalah bentangkan sajadah, bersimpuhlah dialtar, dan keimananmu.

Ana dewa nganglang jagad, ada Dewa/Malaikat sedang mengelana jagad disepertiga malam, mencari dirimu yang masih terjaga.

Nyangking bokor kencanane, Dicengkiwingnya bejana kencana, dari Yang Maha Rahmat, kau tahukah isinya…?

Isine donga tetulak, isinya do’a penolak bala, penolak bencana, penarik rezeki, petunjuk jalan terang.

Sandhang kalawan pangan, berkah pakaian serta makanan yang cukup, sandang untuk jasmani dan rohani, makanan untuk jiwa dan raga.

Yaiku bageanipun, Wong melek sabar narima, Yaitu bagian untuk orang yang tak pernah tertidur mata raga dan mata jiwanya, orang yang selalu melihat, nyalang matanya melihat segala sesuatu dan sabar menerima segalanya, tak pernah lupa saat ia jaya dan selalu bertawakal saat ia terpuruk. (*)

Ki Lurah Semar, Petruk, Bagong, dan Nala Gareng, mari duduklah bersama mereka dan temukanlah kedamaian dari dirimu sendiri.

Nafas-nafas Cemara

Illustrasi/Google

Illustrasi/Google

Nafas-nafas cemara

Pernah kau hampir dibunuh

Beribu kecewa pun amarah

Tenggelam… ditimbun ingin

***

Maunya tak mati

Tak harus tapi tetap mati

Dikau datang dari tanah lapang…

Dikereta Parahyangan senja kau buang…

***

Airmata berulah

Mengubur mata berkaca

Merongrong tanpa perasaan

Ini tentang sedih mengertilah

***

Kotor ditembok hatimu lusuh

Masihkah kau sebut suci

Katakan alasan beribu

Berputar buntu kucaruk…

***

Terus musuhilah aku

Marahi aku… tusuk dengan serapahmu

Hingga akhir jaman sialan

Biar anak-anak kita cicipi getirnya pemusuhan dan perang

Agar kelak anak-anak kita tahu

Bahwa kemenangan adalah ratu air mata

Dan, kekalahan adalah raja darah

***

Nafas-nafas cemara

Nistakah Si Pemburu damai…?

****************************************************************

DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

DESA RANGKAT : Desa Para Pemburu kedamaian

DESA RANGKAT : Desa Para Pemburu kedamaian

Padamu Nan Tak Akui Aku…

Terkaparlah aku

Menarik nafas sebalik tirai

Menyusun bayang maut

Belalak mata mati mataku

***

Najis aku…

Ludahi wajahku ludahmu

Anyir getir menyambar bak petir

Sayang itu berlalu diatas putingmu

***

Padamkan aku…

Siram bara sebatang rokok

Sebelum aku mati sempurna jadi abu

Kubur aku dalam selahat-lahatnya

***

Padamu nan tak akui aku

Akui nilaiku sebelum aku mati

Musik sang penyair tak berarti

Dendang kalbunyalah melebihi tuturnya

Nilaiku terkandung lebih dalam kalbuku

Ketimbang yang kugenggam di bibirku

***

Akulah raja penyair rindu

Terduduk diatas remuk puing istanaku

Kuceritakan citra dari abu-nya yang mengembara berserakan

Kesepakatan fikiranmu dan ceritaku adalah syair langgeng

Kutuliskan, kututurkan, dalam sadar, menjadi keabadian

***

Terkapar aku…

Najis aku…

Padamkan aku…

Padamu nan tak akui aku… (*)

Kupu-kupu Jinggaku

Ilustrasi/Koleksi Pribadi

Ilustrasi/Koleksi Pribadi

Sajaku Malam Untuk Jingga : Kupu-kupu Jinggaku

Jingga

Jingga

***

Jangalah lagi bersusah kupu-kupu jinggaku
Kemari, ajak aku terbang bersamamu
Berlalu dari bunga rindu, bunga rindu
Tersenyum, terbahak duka pun berlalu

***

Musik duka yang lalu buanglah jauh
Dengarkan dendangku, zapin pelepas armada bersauh
Dengarkan musiku, irama hadrah kasih bertaluh
Senandung liriku, kasidah cinta, satu, dua, dukamu terbuanglah jauh.amat jauh…

***

Malam ini pun akan habis
Esok tersenyum dan sudahilah tangis
Airmata pedihmu bilaslah dengan gerimis
Dukacitamu hanyutkanlah di sungai ibadah yang selalu berlari mengejar samudra.Optimistis

***

Sajak malam untuk jingga
Sejak malam, sampai siang, sampai malam, hingga
Musim demi musim berlalu, satu rindu kami jingga
Bulan, tahun pun tergelincir, banjir kasih dari kami untukmu jingga…

***

Kau kupu-kupu jingga…

Kupu-kupu surga dambaan jiwa…

Selepas hujan tangismu reda…

Berlarilah ke latar menari, menyanyi, dan terbang tinggilah…

***

Kupu-kupu jinggaku….

**************************************************************

Dedicated for : Jingga

Wanita Hebat Yang Sudah Berhasil Melewati Fase-fase Hebat Kehidupan

1. Aku Benci Spermamu!

2. Aku Benci Spermamu!! - 2

3. Aku Benci Spermamu!! -3

**************************************************************

Rangkat: Menara Perkasaku

Rangkat menara perkasaku

Bayanganya menjulur menyentuh kakiku kala wajah mentari menengadah

Rangkat menara perkasaku

Canda tawa dan kasih kebersatuanku kala kabut malam membelai dada

***

Sang Adikodrati membawaku kesana kabut

Aku hanya pencari, pengejar hasrat yang dilairkan mimpi

Atas nama semesta kalian dan aku saling memuja

Tanpa mantra hanya ruang mata dan jari-jari kita berbicara.Maya

***

Diatas menara Rangkat yang perkasa

Bila kata-kata rindu hanya getar semata diatas bibir hayat

Aku akan hadir disitu bersama merasakan kelunya rindu dan getarmu

Ada sabda, tentang kenangan masa lampau, tentang pendambaan masa depan

Walau kemarin dikubur ajal, dan setiap esok adalah perburuan kelahiran sukacita.

***

Diatas menara Rangkat yang perkasa

Aku jadi matahari dan kau rembulan dan yang lainya kemilau bintang

Namun aku dan engkau tiada lebih bercaya semua bersinar belaka

Tiada yang lebih terang, tiada kuasa atas yang terterang

***

Pada engkau tuan dan nyonya Rangkat jangan panggil aku orang asing

Tersenyumlah kala kau lewat dipintu kuil taman jiwaku

Ada sebait sajak puja-puji untukmu…

Untuk Pra dan lambang aku selalu merindukan, mendambakan canda tawamu

****************************************************************

DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

Rangkat: Menara Perkasaku

Rangkat menara perkasaku

Bayanganya menjulur menyentuh kakiku kala wajah mentari menengadah

Rangkat menara perkasaku

Canda tawa dan kasih kebersatuanku kala kabut malam membelai dada

***

Sang Adikodrati membawaku kesana kabut

Aku hanya pencari, pengejar hasrat yang dilairkan mimpi

Atas nama semesta kalian dan aku saling memuja

Tanpa mantra hanya ruang mata dan jari-jari kita berbicara.Maya

***

Diatas menara Rangkat yang perkasa

Bila kata-kata rindu hanya getar semata diatas bibir hayat

Aku akan hadir disitu bersama merasakan kelunya rindu dan getarmu

Ada sabda, tentang kenangan masa lampau, tentang pendambaan masa depan

Walau kemarin dikubur ajal, dan setiap esok adalah perburuan kelahiran sukacita.

***

Diatas menara Rangkat yang perkasa

Aku jadi matahari dan kau rembulan dan yang lainya kemilau bintang

Namun aku dan engkau tiada lebih bercaya semua bersinar belaka

Tiada yang lebih terang, tiada kuasa atas yang terterang

***

Pada engkau tuan dan nyonya Rangkat jangan panggil aku orang asing

Tersenyumlah kala kau lewat dipintu kuil taman jiwaku

Ada sebait sajak puja-puji untukmu…

Untuk Pra dan lambang aku selalu merindukan, mendambakan canda tawamu

****************************************************************

DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

Rangkat: Menara Perkasaku

Rangkat menara perkasaku

Bayanganya menjulur menyentuh kakiku kala wajah mentari menengadah

Rangkat menara perkasaku

Canda tawa dan kasih kebersatuanku kala kabut malam membelai dada

***

Sang Adikodrati membawaku kesana kabut

Aku hanya pencari, pengejar hasrat yang dilairkan mimpi

Atas nama semesta kalian dan aku saling memuja

Tanpa mantra hanya ruang mata dan jari-jari kita berbicara.Maya

***

Diatas menara Rangkat yang perkasa

Bila kata-kata rindu hanya getar semata diatas bibir hayat

Aku akan hadir disitu bersama merasakan kelunya rindu dan getarmu

Ada sabda, tentang kenangan masa lampau, tentang pendambaan masa depan

Walau kemarin dikubur ajal, dan setiap esok adalah perburuan kelahiran sukacita.

***

Diatas menara Rangkat yang perkasa

Aku jadi matahari dan kau rembulan dan yang lainya kemilau bintang

Namun aku dan engkau tiada lebih bercaya semua bersinar belaka

Tiada yang lebih terang, tiada kuasa atas yang terterang

***

Pada engkau tuan dan nyonya Rangkat jangan panggil aku orang asing

Tersenyumlah kala kau lewat dipintu kuil taman jiwaku

Ada sebait sajak puja-puji untukmu…

Untuk Pra dan lambang aku selalu merindukan, mendambakan canda tawamu

****************************************************************

DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

“Betinaku, di Balik Lubang Pintu”

1301720818655464468

Ilustrasi By. Edi Siswoyo

Di sebuah pintu Mess, kunci surga menggantung.

KHUSUS WANITA pasal pertama dari undang-undang tertulis disetiap pintu masuk kamar mess yang menurutku artinya “Jangan Canggung…”, segera buka pintu betina-mu menunggumu, menunggu kau menungganginya. Pernahkah kalian kehilangan mimpi saat hampir-hampir saja kau ambil sebuah senyuman. Haru biru.

Debaran hatiku tersisa, “Ayooo…lakukan saja… zina’i malam saja dengan sepuntung rokok dan segelas bir…sebelum pagi menggilasmu dan mengakhiri deru mimpimu…” suara setan di berdenging di cuping kiriku.

Nafsumu terhambur malam ini,mengerumuni Pohon Secang bagai kupu-kupu riang perawan dimusim semi “berlalulah dari sini… basahi nafsumu dengan dzikir, bilas gairahmu dengan lantang istighfarmu…” suara Si Malaikat berbisik di cuping kananku.

Pertarungan antara nafsu dan imanku berakhir, saat suara jerit dan desahmu berbaur diantara gemerudug suara exhaust-fan diatas angin-angin pintu kamarmu, betina-ku mala mini kau bersamanya menganyam nafsu, menisik pengkhianatan.

Hai… Jalang…

Kian hari kian malang…

Dibalik kelambu itu aku pernah hilang…

Saling hitam dan saling hantam.Bayang…

Bayangku dan bayangmu betinaku.Malang…

***

Berpagutan diantara letih…

Aku laksana tinta dan kau ibarat kertas

Jika aku tak hitam dan kau tak putih

Kita sama-sama buta dalam coretan nafsu

***

Kebutaan pula yang mengantarku menemuimu

Karena bagi si buta hanya ada satu jalan

Yaitu jalan yang ia tahu sebelum nafsu membutakanya

Jalan yang selalu hitam…

Jalan yang selalu buram…

Malam ini tak akan kusisakan airmata, akan tercurah semuanya untuk betina dibalik lubang grendel pintu, sebelum aku pulang ke kos-kosan dan memulai hidup baru, biarlah ruangan ini kubakar dan hangus hingga dapat kulihat asap gairahnya mengepul dari tapal batas.

Esok jari-jariku akan tumbuh lagi dengan kuku-kuku yang pendek, rambutku yang plontos mulai bersemi sau senti demi satu senti, gigi taringku sudah semakin memendek, dua tanduku yang kemarin kupeng sekarang menyurut dan hilang menyusup ke dalam pori-pori kulit kepalaku. Dua kupingku sudah tak lancip lagi kuiris kuping iblisku keberikan untuk makanan anjing neraka.

Wahai betinaku, jika suatu saat kau ingin menemuiku lagi janganlah kau cari aku sebagai Vampire malam pengunduh gairah dan peminum darah, Jubahku yang kerahnya menghilangkan leherku sudah kusalin dengan gamis panjang, aku sudah mersakan mati dalam hidupku, dan kini aku dilahirkan kembali sebagi manusia baru perkenalkan namaku Said Miftahudin Ibnul Mustafa Al-Hadad.

Aku terbangun dibawah pohon rindang sebagai penggembala, dipadang rumput luas kehidupan kugembalakan hatiku sendiri, ku membaca kitab diriku kubaca sendiri diriku.

Oleh. Edi Siswoyo

Cengkareng, 02 April 2011

Hymne Kemenangan


13016587902141932811

Ilustrasi Merdeka

Hymne Kemenangan,

Dimalam kemenangan itu aku akan berlari seperti pesakitan seumur hidup yang kabur dari lapas Nusa Kambangan, takku pedulikan apapun hanya berlari… berlari… dan berlari….

Diujung gelap sana lelaki tua separuh baya, badanya parah, namun mulutnya berbahaya, berkilat-kilat ucapanya bak pedang Ali Bin Abu Thalib menembus daging, tulang, menyeruak ke dalam jantung mengoyak zirah besi pelindungnya, tapi kali ini ia tak berdaya, diam berhemat kata, pun tak lantang suaranya, mengerang kesakitan, “tolong aku… tolong aku…” rintihnya.

Padamu wahai tawanan yang sebentar lagi baik pangkat menjadi buronan,

***

Kau pun akan bernasib sama sepertiku

Tak mampu kau baca hutan asing ini

Kau pun akan berteriak-teriak sepertiku

Tak mampu beranjak saat gelap mengetam mata ini

***

Padamu wahai tawanan, tertawalah dulu

Padamu wahai tawanan, jurang didepanmu akan menjadi kuburanmu

***

“Hai… Pak Tua, aku bukan tawanan, dan takan jadi berubah statusku jadi buronan…”

“Aku…Sang Mahapatih yang sedang berlari girang, mengibarkan panji-panji kemenangan, diatas tumpukan sejuta bangkai, diatas mayat-mayat itu aku berdendang hymne kemenangan,usailah perang…

***

“Usailah perang….

Kemenagan dan kekalahan dipestaporakan Si Burung Bangkai

Rajaku tersenyum dan Rajanya menangis

Ratuku tersenyum dan Ratunya menangis

Hingga lebur tangis dalam senyuman

Hingga samar senyum dalam tangisan

***

Hymne Kemenangan…

Kalah dalam barisan dukalara tak terhingga

Menang dalam perasaan sukacita tak terhingga

Kekasih, aku pulang…panji-panjiku terkembang…

Aku pulang… Aku pulang… Aku Menang…”

***

“Di bait terakhir lagu akan kututup dengan senyuman..selamat tinggal reffense dukalara… aku hisap habis asap-asap tembakau kemenangan…intonasiku lantang AKU MENAAAANG…

Senja hampir habis di pantai losari,

Baterai camera digital-ku’ habis, mungkin tak akan bisa ku abadikan senja di pantai losari, lagipun senjanya sudah hampir habis, biarkanlah mata dan ingatan ku’ saja yang akan mengabadikan semua keindahan ini, ku bingkai semuanya, biarlah andai suatu memori otak-ku rusak diserang serangga dan bakteri usia, dan semua keindahan yang pernah ku abadikan dan kusimpan didalamnya terburai keluar, tolong ambilah perca-perca keindahan itu, dan simpanlah. Mungkin nanti bila saatnya tiba anak-ku yang wajahnya membuatmu mengingat ku lagi, ceritakanlah padanya tentang perca-perca keindahan yang pernah kau ambil, biarlah… biar anak-ku mengambil semuanya lagi, dan hanya menyimpan di ruang otaknya seperti yang aku lakukan dulu.

Sepulang nanti anak-ku akan menceritakan semua kehebatan, perca-perca keindahan, juga tawa canda, itu dulu pernah ada, kakeknya dulu si pendek yanghebat, ceritakan apa yang pernah kita dapatkan dan dan kini isinya sedang diperlihatkan dari mulutmu. Biarlah anak cucu-ku akan berbangga dengan kehebatan-ku, diabadikan…diabadikanya… menjadi cerita atau dongeng sebelum tidur semata tak diabadikanya… atau diabaikanya.

Ehmmm…Di bibir Pantai losari cundrik-ku tertancap, ku kecup bibirnya yang masih telanjang, kemudian awan menyembunyikanya, kenangan akan ciumanya yang lebih hangat, dan perkasa dari api yang membara dari tungku pedagang Cotto Makasar, aku merasa lebih agung dari patung yang dipahat yang sekarang penuh lumut.

Apatah lagi sanak kadang, anak cucu-ku sedang bergembira, dibibir pantai berpestapora, semalam suntuk mengacuhkan kantuk, Kala air pasang kita saling memeluk, kala air surut kau mengangguk, Hingga pagi tiba, kita bagai gerombolan bajak laut, tersungkur dipantai, sementara kapalnya remuk jujuk, diantara pasir kita saling memeluk, bagai ilmu Si anak perawan sakti merajuk, Hilang sadar dari ingatan, lepas ingatan dari kawal merah kesadaran, bukankah anak-anak sedang mewarisi kebudayaan kita, mereka menirukan gaya bibir kita kala tersenyum, kala muka kita merah menyala dalam bara marah, kemudian memukul penuh nafsu dan berpestapora, mereka semua mewarisi cara-cara yang menyedihkan untuk mencari kesenangan.

Bersama kau, aku pernah merasakan dibanting murka, salah kita meminum anggur angkara, disuling dari cerobong neraka, sampai kecawan kita membara-bara, cinta, alasan mutlak. gara-gara, setan-setan separuh muka terbahak ditenggara, “Terus mabukanlah dirimu, sebagaimana cinta telah memabukanmu…” Suaranya gemetar bergetar-getar Si Anak Setan kurang ajar.

Tak sudi katanya… Biarkan katanya, biar kita ikut hangus terbakar api cinta pertama yang suci, lalu tenggelam dan benar-benar hitam menjadi arang tak berarti hingga bara terakhir mati, dan kitapun mati dalam keadaan hina, begitulah cinta, kita dibakar dengan api pertama yang suci, kemudian kita dibakar oleh api-api berikutnya yang disebut nafsu. Masih sucikah …? Cinta yang berjalan diantara waktu yang selalu kita habiskan diatas ranjang, atau tenggelam dalam gulita kasih… kasih… kasih… sampai pagi menjemput dosamu. Sia… sia… sia… sia… cinta manusia pada manusia. Segera berangkatlah mengintip hakikat kesejatian cinta, dalam cara-cara agama, dan adat istiadat bangsa menyatukan dan mengesahkan nafsu&cintamu. (*)

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...