Jumat, 07 Desember 2012

MIMPI LOMBOK MIMPI SENGGIGI : GEMPA (Bag 3)


Inilah cinta sejati, bahkan ia tak merasa kalau ia sedang berkorban, ia melakukan itu bahkan lebih dari yang ia lakukan untuk dirinya sendiri. Tuhan, aku sungguh rindu menemukan senyum itu lagi, ya... senyum yang sarat ketulusan, terkembang diantara senja widasari ini, hanya ia-lah pemiliknya, hanya ia, yang kini tersembunyikan ruang dan terhilangkan waktu, hanya ia yang membuatku sangat yakin bahwa segala gelora yang mengisi dada ini, hanyalah miliknya. Hemm... gelora yang tak kan kutemukan batasnya. Lengkung pelangi kasih, desah kalbu, getar jiwa, ribu do'a cinta, semoga sampai keharibaan kasihnya, usai semesta rasaku, hanya ia... hanya ia...

Lulu, nama yang mengisi lamunanku saat perjalanan balikku ke jakarwokerta, berbagai impian dan angan yang indah bersamanya bak angin berhembus, mengarak pergi pikiran-pikiran tentang beban yang bakal kuhadapi di ibu kota nanti. "Antarkan aku kesana mas..." Lombok, Senggigi, permintaan itu lagi, "Berarti mas cuma ngantar yah... terus mas pulang lagi ke purwokerto, adik sendirian di sana..." jawab candaku, sesudahnya lulu memukulku manja. Ah, hanya itu saja permintaan lulu, aku pasti akan mewujudkanya.   
* * *
Sungguh aku merasa sangat tak berdaya hari ini, kuhamburkan tubuhku diatas kasur, lelah perjalanan bolak-balik Jakarta – tegal adalah lelah yang membiasa bagiku, tiga tahun terakhir aku tak merasakan lelah menempuh berkilo-kilometer perjalanan menyusuri pantai utara dengan mobilku. Semua beban yang mengisi otaku inilah yang membuatku merasa sangat lelah, jengah, kalau saja tak teringat mimpi indah bersama lulu, aku ingin mengakhiri saja hidupku detik ini juga. Toh, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain lulu dan keluarganya.

Senja pucat pasi menyentuh candela kaca apartemenku, cahayanya menembus dan sampai ke kakiku. Tidak aku harus menyelesaikan semuanya kata itu mengulang-ulang berdenging di telingaku, membersit di sudut jiwaku, seperti ikut meruap dan terbang bersama asap rokoku, perlahan benar-benar mengisi ruang otaku dan membuatku terasa sangat berat. Membuatku semakin jauh dari rasa kantuk, setiap mengingat semuanya beban itu mata sipitku langsung melotot. Raga dan fikiranku tak lagi sealur, sementara ragaku lelah dan harus kuistirahatkan , tapi otaku dan segala isi beban didalamnya tak mengizinkan. 

“Selamat siang pak… pak kantor sudah disegel oleh juru sita pengadilan, kami harus bagaimana pak?” isi sebuah pesan singkat dari indah sekretarisku. Nada kegelisahan sangat bisa kubaca dari isi pesanya.

Tuhan, apakah aku sudah berakhir hari ini, sepertinya semuanya begitu singkat, rasa-rasanya baru kemarin wajahku terpampang di sampul majalah bisnis ibu kota, undangan seminar antre di schedule-ku, wawancara beberapa TV Swasta, dan masih terngiang-ngiang teriakan-teriakan sumbang itu di telingaku “sena… sena…” teriakan para pemujaku yang selalu saja kuabaikan begitu teringat akan satu nama lulu, mereka hanya mendapat porsi senyum sepuluh senti, senyum yang sama sebagai pengabur dari image sombong seorang pengusaha muda yang sukses.

Benar, aku belum siap menerima semua ini, apa yang aku jalani kemarin sudah berlalu, sejumput kebanggaan yang kugenggam menguap sudah, kini kepalan itu sudah kosong. Deret – deret nasihat dari Bu Fatimah, satu-satunya ibu terbaik yang aku kenal, karena dengan ikhlas merawat dan membesarkanku yang jelas-jelas bukan anaknya. “Mempertahankan itu lebih sulit daripada mendapatkan, dan menerima hal buruk akan lebih sulit dan sakit dari pada menerima hal baik, siapkanlah dirimu untuk dua hal nak… Bertahan, jika tak bisa dan terimalah sesuatu yang buruk dengan ikhlas serta tetap berprasangka baik pada Allah”.

Sepertinya ia sudah meramalkan bahwa aku akan sampai ke titik ini, dan pada saat seperti sekarang inilah kata-kat itu benar-benar menjadi deret-deret kalimah ajaib untuku.
Aku mengulang-ulang dalam fikiranku, kalimat terakhir nasihat ibu, “Bertahan… jika tak bisa terimalah sesuatu yang buruk dengan ikhlas…”. Aku nyaris tak sanggup bertahan bu... dan kini separuh jiwaku seperti tak siap menerima semuanya harus berakhir.

 Aku bolak-balik membaca isi pesan singkat dari indah  sekretarisku. “Oh, God… I am lose!”

Kenyataan ini seperti gempa, ya... gempa pertama yang menggoyahkan semesta jiwaku, lapisan sedimen-sedimen kenyataan dan harapan saling berbenturan. Aku menikmati setiap guncanganya, mataku nanar menatap kosong kelangit-langit, ragaku lunglai dalam papahan kasur, yang kini bak altar pengorbanan untuk mengorbankan jasadku, untuk tumbal pada penguasa kegelapan, raja iblis di negeri keputus asaan. Aku pasrah.  

***
Aku dengar kau mengucapkan kata-kata yang tak pernah aku fikirikan, "Aku pergi... aku pergi..." aku mencoba menarik nafas perlahan namun jantungku tak mengizinkanya, aku mencoba untuk duduk tenang namun sendi-sendiku memberontak, seharusnya saat ini aku seperti mereka duduk tenang di kolam pemancingan, berseriak bahak di sebuah kafetari di sudut mall, bermesra dengan kekasih, raga dan fikiranku tak sealur, ragaku tak bisa ditenangkan fikiranku, dan fikiranku tak bisa menguasai ragaku, aku ingin disana menggantikan lulu, di ranjang itu, merasakan sakitnya, saat nafasnya terputus-putus, saat badanya terguncang hebat, gantikan aku Ya Allah.. gantikan aku... atau bangunkan aku jika ini hanya mimpi. Aku goyah-goyahkan lulu yang hanya diam tanpa geming, dan “Aaaaaaahhh….” aku berteriak keras-sekerasnya,  jantungku berdegub kencang, keringat melandai membasahi keningku, “Oh, Tuhan hanya mimpi…” bunyi bising nada panggilan handphoneku membangunkanku dari mimpi buruk itu “Lulu memanggil”

“Mas, pasti baru bangun…? Ngga kekantor hari ini mas…”

“Ke kantor dik” jawabku sambil menyodorkan wajahku ke cermin 60 x 120 cm yang menempel di dinding diatas wastafel dikamarku.

“Mas…”

“Iya, kenapa dik…”

Tak ada jawaban aku hanya mendengar samar – samar isak tangis. “Dik…! Kamu nangis kenapa…?” tanyaku gelisah.

Belum mendapat jawaban aku matikan sambungan telpon dari lulu, cepat aku membuka data phonebook handphone dan men-dial up nomor ayah lulu, aku pikir jika kondisi buruk terjadi aku tahu hanya ayah lulu yang mungkin lebih kuat dan tidak menangis. Ternyata tidak setelah panggilanku diterima ayah lulu pun sedang menangis, hanya saja ia masih mampu menerangkan semuanya.

“Jadi, berapa kekurangan yang harus bapak bayar ke bank pak…?”

“Dua puluh lima juta mas…”

Rumah sangat kecil menurutku di perumahan yang tak begitu elit di tegal tempat lulu dan keluarganya bernaung. Kini terancam di sita oleh pihak bank karena hampir sudah tidak dicicil lagi tujuh bulan terakhir. Pihak bank memberi waktu satu bulan untuk menyelesaikan semua pembayaranya. Jika tidak, ancaman sita itu akan terjadi. Dimana mereka sekeluarga akan tinggal? Dari mana ayah lulu akan mendapatkan uang sebanyak itu? Baru sebulan yang lalu adik lulu yang kedua di DO dari universitasnya karena masalah tunggakan pembayaran SPP.

Aku mencoba menelpon lulu kembali dan menenangkanya, dan berjanji aku akan menyelesaikan pembayaran kepada pihak bank sebelum jatuh tempo pembayaran. Walau aku sendiri belum tahu dari pos mana aku akan menarik uang senilai itu.

Aku menundukan kepalaku diatas wastafel, kubuka kran dan aku biarkan airkan mengalir dan membasuh seluruh kepalaku, entah apa yang kulakukan yang aku tahu bahwa air mataku seperti tak terlihat ikut tergerus bersama aliran air kran, jatuh luruh dan pergi mengalir jauh terbawa tercampur bersama air-air yang lain disana.

Kenyataan ini bak gempa susulan, aku pun sudah tak bisa membandingkan lagi mana gempa yang lebih besar atau mana yang lebih kecil, entah besar atau kecil yang pasti kegetiran yang aku rasakan seperti semakin membengkah, menganga semakin lebar.

* * *
 

Selasa, 27 November 2012

MIMPI LOMBOK MIMPI SENGGIGI : PERGI (Bag 2)


Hemmm...

Tegal, yang aku tanyakan pertama kali sesaat setelah mobilku menyentuh tapal batasnya adalah "Nasi lengko masih ada ngga yah jam segini?". Ia tersenyum tipis "kalaupun habis ibu pasti akan membuat nasi lengko untukmu mas...". Aku kangen berjalan menyusuri jengah terminalnya yang sudah berisik oleh pengamen dan pedagang asongan, dan para calo yang mengejar calon penumpang, lelah, duduk beristirahat dan menyantap nasi lengko disana. Mengenang nakalnya saat SMA-ku membolos jauh-jauh dari purwokerto berburu nasi lengko, tak cuma alasan utmanya pasti Lulu, gadis yang sekarang terkantuk-kantuk disampingku.

Seperti tak ada cerita lain sepanjang perjalanan, kecuali kupat glabed, mendo, nasi lengko, tahu aci, dan teh poci, dan tertawa bersama, diatas mobil yang kini telah jauh meninggalkan ibukota yang hiruk itu. Kami seperti melupakan dua cargo beban berat dan besar masalah yang kami bawa, aku sama sekali lupa dengan setumpuk SPK Proyek yang batal, tagihan yang belum terbayar, piutang ke rekanan yang harus dibayar, site manager yang korup dan dia saat itu pulang dengan predikat tidak lulus test akhir wawancara di sebuah perusahaan BUMN.

* * *

"Belum rejeki mau gimana lagi yah mas..." ujar ibunya menyela pembicaraan kami yang sedang menceritakan semua yang sudah kami alami di jakarta. Aku hanya mengiyakan ucapan ibunya, dan menyembunyikan lelah dan penat dengan sedikit senyuman. 

"Terus rencana mas gimana? mau cari kerja di tempat lain atau istirahat dulu..." sambung ibunya.

"Yah, mungkin mau lebih konsen urus perusahaan dulu bu, dan menyelesaikan pekerjaan dan ambil beberapa proyek yang masih bisa diambil..."jawabku datar sembari merogoh handphone dari saku celanaku yang terus berdering. "Maaf, bu saya angkat handphone dulu...".

Tak begitu kuperhatikan, saat aku hendak melangkah keluar dari ruang tamu aku melihat mukanya meringis sambil mengusap, dan memijat kaki kirinya.

* * *
"Mas, pulang yah dik... handphone jangan jauh-jauh barangkali nanti Pak de dari purwokerto nelpon masalah pekerjaan kemarin, kamu ambil aja, daripada dirumah terus, why not... jakarta, udahlah buang jauh-jauh keinginanmu bekerja disana..."

"Iya mas, tadi telpon dari siapa mas?"

"Temen, yang nawarin pekerjaan borongan..." dia tahu aku paling kurang pandai berbohong, mukaku tak mengatakan hal yang sama dengan jawabanku, mataku tak sanggup juga menatap wajahnya saat aku harus berbohong.

Ah, tak mungkin juga dia bisa menerka jelas siapa yang menelponku sepagi ini.

* * *

Setidaknya sampai detik ini aku masih tahu, bahwa di kota kecil seperti tegal ini, ada wajah sendu yang selalu menanti, mencintai dan mendoakanku. Masa bodoh jika diujung senja di kota besar sana ada hati lain yang ingin jua memilikiku, sisi egoisku pun tak rela aku termiliki oleh satu hati, saat ini. Entah dari mana aku mendapatkan aturan dudul ini, bahwa nantinya aku hanya akan memilih Lulu, gadis dari kota kecil yang akan selalu setia disampingku, dengan ataupun tanpa duit. Karena, yang lain hanya menganggap aku ATM berjalan, atau tambang emas bagi mereka. Shit! terserahlah tapi aku suka menghancurkan gadis-gadis mentropolis seperti mereka.

Lulu, bagiku pengecualian aku ingin berhenti dan menyandarkan biduku di pantai hatinya. Aku ingin menjadi apapun nantinya bersama dia, honeymoon di lombok, di senggigi, anak-anak, istana kecil di purwokerto, ah, indah bila anganku sudah sampai kesana. Tapi, dari mana aku harus memulainya sementara bromocorah terus menggerogoti usahaku, dan wanita-wanita keparat itu tak kunjung pergi dari hidupku.

PERGI

Ya, pergi mungkin itulah hal pertama yang harus aku lakukan, aku jual semuanya dan memulai hidup baru di di purwokerto, usaha baru, tapi itu pun tidak mudah, aku harus menyelesaikan segudang tanggung jawabku di jakarta. Setelah semuanya selesai aku akan kembali ke purwokerto ranah ngapak tempat kelahiranku, senjanya yang selalu kurindukan, mempersiapkan pernikahanku dengan Lulu Segenap jiwaku mencintainmu dan memulainya semuanya dari awal kembali.  

Ya, bereskan semuanya dan pergi. 

Sabtu, 25 Februari 2012

"RINDU"



Oleh : Edi Siswoyo

 Angin utara akan berhembus lagi esok, membawa derunya, menyerta serunya, mengasat mata rohnya, menggumpal bersama gulung kabut tebal rindu. Berdirilah naen di kaki bukit, matanya memandang jauh lekat, pada asap-asap putih yang mengendap di permukaan telaga.

Tiada biduk, tiada lenguh manja hewan – hewan yang sedang menghirup segar udara yang sama hawa “rindu”.

Semoga engkau tak lupa cantik nian aras, akan janji yang pernah kita ikat dibawah lengkung pelangi, sesaat waktu menyembunyikan semua kegembiraan yang hanya kita bagi bersamanya. Kini hiduplah lagi sang pralambang, saksikanlah kawanan burung greja yang berpencak memperebutkan bilah-bilah ilalang.

Berdirilah dirimu disana sayang agar sang harimurti dapat mencipta lagi bayangmu, karena hanya dengan itulah kau dan diriku dapat menyatu di siang hari.

Dan, kala malam datang tetaplah berjelaga disana, disisi megah gempita benderang rembulan, agar diriku dan dirimu dapat menyatu kembali dalam “bayangan”.

Kian tangismu kudengar sengit membelah parit jiwaku, bak pawana gelombang perkasa pun pecah jua, ruh-nya musnah hanya rindu saja merayap berpesta bersama angin dan musik-musik gemerisik dawai-dawai pasir pantai.

Kerinduanmu adalah gubug rumbia kosong sepi yang kemudian berubah menjadi kuil-kuil dewa agung, aphrodite, dewi sri, berkeliling meruap semesta keagungan dalam hatiku dan hatimu. Kesialanku adalah telah kutempuh tahun – tahun penderitaan yang hanya menyisakan dua onggok hati yang kini saling terasing dalam pulau kerinduan.

Menunggu kematian yang sudah pasti akan menemuiku dan menemui tidak mungkin “percuma” jua, maka kini aku jiwa yang papa ini mengajakmu untuk mencari hari kelahiran baru.

Sinarku dan sinarku nyaris sirna, kini kekasih kuberikan sedikit cercahku yang hampir habis, biarlah aku tiada lebih benderang dari dirimu, biarkan aku hilang menuju tidurku yang penghabisan, asal kau disana tetap menjadi benderang, bersinar.

Dalam genggam-Nya “rindu” kita akan abadi.


Jakarta, 25 February 2012

Senin, 23 Januari 2012

Dialog Cinta Telur Busuk IV

Dialog Sebelumnya :
- Dialog Cinta Telur Busuk I
- Dialog Cinta Telur Busuk II
  Dialog Cinta Telur Busuk III
ilustrator google 
Edi Siswoyo :

Aku suka terpenjara
Dalam gelap dalam bingar derita
Jauh dari fata dekat pada morgana-Nya
Usai bagiku hingar rona cinta
Bersama kepergian ayunda
...
Diamku adalah sebuah harga kehilanganmu
Sendiri adalah nisan penghormatan pada cinta agungmu
Segalanya terasa disini berharganya dirimu
Saat tiada dirimu, meruap semua nilaimu

Demi-Nya pemilik nyawa
Aku gembira bersama derita
Bagiku sempurna semua angkara
Menunggu-Nya menyudahi semua

Tenanglah bersamanya yang tak akan memeranaimu
Terbanglah bersamanya yang tak akan melukaimu
Reguk habis anggurnya, anggur yang tak pernah bisa kuberikan padamu
Bagimu kebahagiaanmu, bagiku senyum pedihku


Moussycha :

Bila sedih itu kau anggap mampu puaskan cintamu
Silahkan reguk sampai habis
Sekiranya setelah itu kau mampu lagi tersenyum

Soal cinta tak menjamin tanpa duka... 

Tanpa menggaransikan tanpa luka
Siapapun bisa memeranaiku
Semua kembali duhai sang pencinta
Pada bagaimana kau berteman
Pada bagaimana kau berkawan
Merangkul rasa patah
Tanpa harus tersungkur mati
Dan terkubur sendiri
 
 

Karya Bersama Kompasianer :
 
 
 

Dialog Cinta Telur Busuk III

Dialog Sebelumnya :
- Dialog Cinta Telur Busuk I
- Dialog Cinta Telur Busuk II


ilustrator google 
 Edi Siswoyo :

Pergilah dengan bangga
Lilin remang tanda
Pelukis sudah papa
Tanpa kuas diam saja

... Menyepi dalam gulita
Kusuruk jauh segala cinta
Kukubur seribu rasa
Kututup, kubuang jauh ke jurang masa

Aku tenang hidup bersama iblis neraka
Melupakan waktu, bahagia dan duka
Menunggu sampai hari akhir tiba
Dia mengambil semua
Raga, jiwa dan nyawa

Bergembira lagi bersama iblis surga
Melupakan wanita, cinta dan dunia
Menunggu sampai hari bahagia tiba
Bumi menyembuyikanmu dalam bahagia

Abadilah do'aku, dzikirku untukmu yunda
Menulis malam-malam gulita
Melukis warna-warna darah luka
Mendalang wayang aksara duka

Memekuuuuuurr


Moussycha :
 
Tak sedikitpun terbias rasa bangga
Ku biarkan sang pemilik Cinta membawaku
Ku biarkan pelukan kasih menyapa
Merangkul segala luka yang pernah memamahku habis dan nyaris selesai
Tak bisakah kau lari dari sgala ikatan iblis... 


Bukan kah malaikat itu slalu membuka matanya dan menawarkan keindahan yang lebih abadi
Meski dengan pahit, meski dengan duri dan tak semanis goda sang Iblis
Tidakkah kau mampu melepas pergi dari waktu-waktu bersamanya
Menyambut bahagia dengan rengkuhmu sendiri
Kelak smua kan terang untukmu
Darah luka tak slalu ada
Aksara dukapun mampu menghilang
Berganti senyum layaknya pagi datang setelah malam
 

Karya Bersama Kompasianer :
 

Dialog Cinta Telur Busuk II

Dialog Sebelumnya :
- Dialog Cinta Telur Busuk I

ilustrator google
Edi Siswoyo :

Sungguh mulia dikau penembang
Tetap sungging senyum meski hatimu gamang
Hanya saja belum usai kau berdendang
Aku bunuh malaikat surga penggambang... 

Kini yang kuuntai hanya bayang
Yang kusungging melati kenangan
Bahuku kosong tiadamu sandarmu sayang
Kau mati, kau pergi, madah melayang

In memmoriam dalam peti kenangan

Masih kutabur sekar
Wijaya Kusuma kutebar-tebar
Bunga kresna konon penghidup yang mati kusebar
Diatas pusaramu ku bersabar

Pada akhirnya yang pergi tetap pergi
Tak kan pernah kembali
Oi,meruap kabar gembira lagi
Di arshy lain kau hidup lagi dari mati

Disana kau gembira kembali menjadi pelangi
Kau dipujanya bak dewi
Tetaplah disana menjadi pelangi
Dan, kupun bahagia disini

Wijaya kusuma dari lembah mandalawangi
Kuuntai dalam do'a menghuni-huni
Umruna min ardhi rihlahi
Kuusir kau penuh senyum, pergi pergilah pelangi
 

Berlapis-lapis pembendaharaan warna
Kuijinkan kau toreh didasar kanvasku yang kosong
Seketika kau hitamkan kembali
Bagaimana bisa ku beri lagi ruang untuk kau lukiskan aksara cintamu
Biarkan sang pelukis sepi... 
 
Moussycha :
 
Membawanya pergi hingga perlahan menemukan warna warni ceria kembali menghiasnya seindah pelangi
Lebih dari pelangi mu
Meski dengan senyum, ku pergi
Perantara kasih mengikat silahturahmi
Kuharap terjaga tak lelap ditelan waktu
Senyummu seperti dulu kan membawa pelangi lain berkunjung dilangitmu dan tinggal diam disana...
Pelangi yang sebaik bagaimana kau torehkan warna dengan kuasmu
 
Karya Bersama Kompasianer :
 
 
 

Dialog Cinta Telur Busuk I



ilustrator google
Edi Siswoyo :

“Sini ayunda kubelai rambutmu
kusematkan sekar melati di sela telingamu
Sini mendeh-mendeh tan sinendeh nyendeamu
Kemari sayang sandarkan resahmu
Bersandar tanpa sadar, sandari resahku..”

Ajeng Loedita Anggarani :

sayang aku gerah, melepas lelah dalam desah membelah..
biar ku lepas gundah dalam desah yang lelah hihii

Edi Siswoyo :

Pura-puralah tak sadar diajeng
Teruslah dengusi aku dengan desah itu
Pagi kita tak akan berubah sayang
Mengunduh debur gairah
Melebur gelora diatas padang mandalawangi
Sampai kita benar-benar tak sadar…”

Moussycha :

“Yah tanpa sadar ku dendangkan resahku
Berbisik halus merambati hatimu
Waktupun tak kan sama sayang
Terus merambah walau tak kau sadari…”

Karya Bersama Kompasianer :
- Ajeng Loedita Anggaran

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...