Oleh : Edi Siswoyo
Angin utara akan berhembus lagi esok, membawa
derunya, menyerta serunya, mengasat mata rohnya, menggumpal bersama gulung
kabut tebal rindu. Berdirilah naen di kaki bukit, matanya memandang jauh lekat,
pada asap-asap putih yang mengendap di permukaan telaga.
Tiada biduk, tiada lenguh
manja hewan – hewan yang sedang menghirup segar udara yang sama hawa “rindu”.
Semoga engkau tak lupa cantik
nian aras, akan janji yang pernah kita ikat dibawah lengkung pelangi, sesaat
waktu menyembunyikan semua kegembiraan yang hanya kita bagi bersamanya. Kini
hiduplah lagi sang pralambang, saksikanlah kawanan burung greja yang berpencak
memperebutkan bilah-bilah ilalang.
Berdirilah dirimu disana
sayang agar sang harimurti dapat mencipta lagi bayangmu, karena hanya dengan itulah
kau dan diriku dapat menyatu di siang hari.
Dan, kala malam datang
tetaplah berjelaga disana, disisi megah gempita benderang rembulan, agar diriku
dan dirimu dapat menyatu kembali dalam “bayangan”.
Kian tangismu kudengar sengit
membelah parit jiwaku, bak pawana gelombang perkasa pun pecah jua, ruh-nya
musnah hanya rindu saja merayap berpesta bersama angin dan musik-musik
gemerisik dawai-dawai pasir pantai.
Kerinduanmu adalah gubug
rumbia kosong sepi yang kemudian berubah menjadi kuil-kuil dewa agung,
aphrodite, dewi sri, berkeliling meruap semesta keagungan dalam hatiku dan
hatimu. Kesialanku adalah telah kutempuh tahun – tahun penderitaan yang hanya
menyisakan dua onggok hati yang kini saling terasing dalam pulau kerinduan.
Menunggu kematian yang sudah
pasti akan menemuiku dan menemui tidak mungkin “percuma” jua, maka kini aku
jiwa yang papa ini mengajakmu untuk mencari hari kelahiran baru.
Sinarku dan sinarku nyaris
sirna, kini kekasih kuberikan sedikit cercahku yang hampir habis, biarlah aku
tiada lebih benderang dari dirimu, biarkan aku hilang menuju tidurku yang
penghabisan, asal kau disana tetap menjadi benderang, bersinar.
Dalam genggam-Nya “rindu” kita
akan abadi.
Jakarta, 25 February 2012