Sabtu, 26 Februari 2011

Dari Gubug Reot Di Pesawahan Desa Rangkat

Maksudnya Gambar Gubug dan Sawah Rangkat ( Oleh Edi Siswoyo )

Maksudnya Gambar Gubug dan Sawah Rangkat ( Oleh Edi Siswoyo )

Sudah satu jam setengah sepulang sekolah, aku terduduk di sebuah Gubug reot di pesawahan desa Rangkat, tempat yang tanpa sadar akhirnya menjadi salah satu tempat favoritku, selain tercenung dipinggir kali, menumpak batang Pohon Waru nan rindang, batangnya doyong ngeluyur keatas kali yang air putihnya gemericik, sekali-kali keruh menguning kecoklat-coklatan karena terwarna tanah dari hulu Gunung. Sekali dua kali dulu, aku sering berangkat ke gubug reot itu dengan bersungut-sungut, bahkan seplastik makanan kecil yang Ibu bungkus untuk menemaniku melakukan pekerjaan remeh-temeh itu sering sengaja aku tinggalkan sebagai bentuk protes kecil agar Ibu tak selalu menyuruhku untuk menarik tali rafia yang dihubungkan dengan jelaga dari bambu atau kayu jati muda diatasnya tergantung kaleng-kaleng bekas, kalau ditarik bunyinya akan mengagetkan koloni-koloni Burung Pipit yang bergerilya di petak-petak tanaman padi Ibuku. “Klontang… klontang… klontang…” ya pekerjaan free-lance selain menjadi pelajar SMP, mengusir burung.

Lama kelamaan aku menikmati pekerjaan freelance yang ibu berikan ternyata menikmati kacang tanah rebus berpolong tiga, sembari mendengarkan lagu - lagu Pop Sunda dari Radio Siaran Pedesaan itu sangat asyik sekali, seraya hembusan angin, suara Nining Meida yang berduet dengan Mang Adang Cengos semakin mendayu - dayu, gubug reot yang sempoyongan terhalau angin kian kanan kian kiri seperti sedang mengikuti dentang - denting kecapi yang mendominasi reffense lagu Potret Manehna, aku ikut larut sesakali saat aku ikut turut berdendang, “Potreeeet…manehnaaaa…Potreeeet…manehnaaaa…” kupada-padakan dendanganku mengikuti cengkok khas sunda Biduan pop sunda yang termashyur seantero parahyangan ini padahal suaraku fals tak karuan, tak peduli kuikuti saja lengkingan suara menyentuh oktaf tertinggi dan jatuh lagi menukik ke oktaf terendah, walhasil ngos-ngosan tersedak dan keteran.

Gubug reot ini juga kadang berubah fugsi menjadi tempat diskusi bebas, kadang menjadi bak arena tinju bebas aku dan uleng sering memperebutkan ubi bakar terakhir setelah ubi yang diperebutkan hancur berantakan kami terbahak bersama, atau kadang saung beratap ilalang, angin yang berdesir, irama dari gesekan daun-daun padi, selalu memberiku inspirasi lebih untuk menggubah puisi tentang pemujaan dan harapan, ya… sekejap gubug reot ini berubah menjadi bak gua candrakila yang sepi senyap tempat Raden janoko tenang bertapa, untuk menerima wahyu jendrahayuningrat, aku pernah sukses membuat beberapa puisi dan sajak dari gubug reot ini, dan beberapanya pernah aku kirimkan ke surat kabar dan majalah nasional terbesar, walhasil aku sering mendapatkan kiriman amplop tebal dari redaktur yang berisi puisi dan sajaku yang dikembalikan, disertai surat permohonan maaf karyaku belum layak untuk dimasukan dalam kolom cerpen, sajak atau surat pembaca, di Media tersebut, tapi aku tak pernah berhenti untuk menulis, sesekali sajaku yang berjudul “Lantunan Mahabah Untuk Sang Mawar” pernah diapresiasi besar-besaran disekolah dan diganjar dengan hadiah satu lusin buku pada saat lomba dalam rangka memperingati Hari kemerdekaan nasional, tapi bagiku aku sudah siap untuk melanjutkan tongkat estafet Almarhum W.S Rendra, dan Kahlil Gibran. berlebihan mungkin?

Apatah lagi alam Desa Rangkat nan indah yang membuat buku gambar yang aku bawa selalu habis , keindahan yang selalu disajikan gratis selayang pandang, sepanjang jalan, adalah pemandangan bentangan pesawahan rangkat, gunung-gunung yang perawan, dan awan-awan dilangit rangkat yang nampak berarak-arak berkejaran satu dan yang lainya, meski tak jarang sudah habis buku gambarku tapi belum satu gambar pemandanganku aku selesai gambarkan, selalu berhenti saat harus melukiskan awan Rangkat yang dicumbu pelangi terlalu indah untuk aku lukiskan.

Tapi, dari Gubug reot di pesawahan rangkat ini pernah tercurah do’a dan harapan dari seorang anak desa yang sangat merindukan suasana damai, rasa tenggang rasa, saling asah, saling asih, saling asuh, seperti yang ada di desa Rangkat ini bisa di copy paste-kan ke desa - desa yang lain diseluruh penjuru Nusantara, agar air mata dapat terhapuskan, tiada kemarahan, hanya ada satu kata damai. Ini cuma harapan kecil dari anak kecil, dari desa kecil, jika orang dewasa cuma bisa duduk berleha disebuah kantor dilembaga yang amat penting untuk kebaikan masyarakat dan Negeri ini, tolong berbuatlah. Aku anak kecil, dari desa kecil, yang punya harapan kecil bahwa orang dewasa punya suara yang lebih kuat untuk mengatakan tidak pada kecurangan, korup, dan kebohongan. Pena yang kami pegang sekarang hanya bisa digunakan untuk melukis dan menulis hal atau semua yang remeh temeh, tidak seperti kalian pembesar Negeri ini, pena kalian digunakan untuk menandatangani dan mengesahkan hal - hal besar yang tidak pernah kami ketahui untuk kebaikan kami atau keburukan, jika kalian tidak bisa menolak kecurangan, setidaknya ubahlah cara anda jangan nanti-nanti sekarang detik ini juga, mungkin selepas lulus SMP nanti tidak akan melanjutkan sekolah lagi, tuan-tuan sekalian tak mungkin akan tertawa terus menurus sampai kalian tidak mendengarkan sudah berapa anak-anak yang puas menamatkan pendidikan sampai sekolah dasar, atau bahkan tidak sekolah sama sekali.

Sebuah do’a kecil, dari anak kecil, dar desa kecil Rangkat, Semoga anak-anak putus sekolah, Benar-benar pengemis jalanan, dan sejuta anak yang mati kelaparan di Negeri ini semoga kalian masukan dalam daftar prioritas kalian semua pembesar dan pemimpin Negeri ini, sudahkah…?

Teriring, Ya Tuhan Semoga Pintu Gerbang “Daranglah Ke Desa Rangkat” tetap kokoh berdiri, tiada siapa atau apapun ayng mampu membuatnya lepas dari pondasi, Semoga Mommy Tak lelah untuk memulas kembali warna catnya yang agak pudar memendar, Nian pula semerbak wangi “Rampai Bunga Rangkat” Semoga keharumananya selalu tertebar searah berarak menjumpai indera-indera pencium setiap rakyat rangkat, terima kasihku untuk “Kembang” yang tak lelah menyiramnya dan memangkas rampai yang akan meliar. Kalian tersenyumlah aku berhatur mengatur puji, mengirim do’a semoga Desa Rangkat akan selalu ada untuk kita. (*)

SELAMAT BERAKHIR PEKAN… (^_^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...