Sabtu, 26 Februari 2011

“Ratu Kecantikan diatas kursi roda”

Nyaris usai, tak habis semalam kurangkai, merangkai musik-musik kata berantai, kekasihku akan tersenyum membacanya aku berandai-andai.

Dulu umurku 18 tahun saat aku mengenalmu, gadis berkerudung yang sempat membentaku didepan pintu gerbang sekolah “Push-up sepuluh kali cepat…”, “ya kak…” Kujawab kuletakan tas ditanah kumulai push-up.

Nasib, mempertemukan kita lagi, pada Masa Orientasi Sekolah (MOS) SMA kamu membentaku lagi karena aku nyeleneh tak memakai papan kardus 30 x 30 senti bertuliskan “AKU BODOH”, tak kugantung dengan tali rapiah seperti yang lain membusung dada dikerjai kakak kelas, hardikanya lebih keras daripada yang sering aku dengar dulu waktu di eS.eM.Pe.

“Lailatuka saidaah ya ukhti…” ini sapaan pertama kali yang membuatmu mengibarkan senyum beberapa senti, gedoran pertama dalam ikhwal sahabat yang nantinya akan menggedor hatimu, “Lailatuka saidaah ya akhi…Man Hazza…?” aku terbata dan berkata “i…i..i..ini novel Al-Ajnihah Al-Mutakasirrah…” heranya aku kakak kelas yang tiga tahun terakhir kukenal kasar, favorit membentak, ogah mengantri dikantin, pernah mematahkan tongkat pramukaku, kini sedang beramah tamah dengan aku dan hatiku.

“Bolehkah kupinjam…” permohonan yang pasti kujawab “iya” aku terlena sampai aku lupa mengambil 4 carik kertas yang berisi sajak kekagumanku pada seorang kakak kelas wanitaku bernama “Nur khafidotul Hikmah” gadis yang baru saja berlalu meminjam novel “sayap-sayap patah” ku.

Ada kata cinta yang aku gubah, ada ucapan “Aku menyayangimu Nur…” dalam bahasa arab yang aku tulis sehalaman penuh. Aku berharap dia lupa membaca bukunya.

“Serbuk cinta memang halus, tak terasa walau sudah masuk, tiada guna memberi nasihat karena tak ada maghfirah, tak ada hidayah, bagi para pecinta, maghfirah dan hidayah adalah cinta itu sendiri, dalam himpitan rasa sayang, rindu tak terbatas, pada sebuah nama Nur Khafidohtul Hikmah, aku akan bertasawuf pada cinta, inilah tasawuf cintaku… terimalah”

Bait-bait itu disalin dengan huruf latin rapih, hanya namanya saja diganti dengan namaku, amplop biru bermotif mawar merahasiakan apa yang yang ditulis oleh hatimu, dua malam terakhir aku akan tak bisa lelap, dan memandangi surat hati ini.

“aku memanggilmu ‘antum’, ‘akhi’, sesekali ‘heh’, aku menyebutmu ’si tak tahu aturan’, ‘preman kampung‘ sesekali ‘bajak laut’ , izinkan aku menghalaumu wahai adik kelas yang kala pagi menyingsing menyusuri jalan kerikil dengan mata tak lepas dari buku dan sore beringsut kupandang kau dari ruang komputer sedang menuliskan pemujaanmu pada seorang wanita, aku akan terus memanggilmu dengan panggilan “kekasih”.

Dua tahun berikutnya adalah masa berkasih-kasihan yang panjang, aku terus menjagamu kala kau terbaring sendiri di ruang anggrek Rumah Sakit Islam, belajar memapahmu kembali berjalan, menyuapimu makan, aku tak lelah mendengar kata “bosan” darimu sambil menapihkan piring nasi dari tanganku, aku terus memelukmu kala kau fikiran bahwa seumur hidupmu akan habis tercenung diatas kursi roda.

Apa saja demi cinta akan aku lakukan, apa saja demi melihatmu tersenyum akan aku tunjukan, menjadi badut sesekali dan membuatmu terpingkal-pingkal sampai hendak jatuh kamu dari kursi rodamu, apa saja…..!

Inilah yang akan kau temukan dari diriku, yang dulu bagai air dan minyak, kau berkata “na’am” dan aku berkata “la”, aku berada di pihak “Pandawa” dan kau berada di pihak “Kurawa”, namun sekarang kita menggalir dalam alur yang sama, kita disinari oleh rembulan yang sama, sadar aku tak dapat hidup tanpamu, kau pun demikian.

Mawar yang selalu kusemai dibelakang rumah disamping kandang ayam telah bermekaran, kupetik salah satu yang termerah untukmu, andaikan…andaikan… sampai sungai pemali mengering, aku akan memapahmu ikut melihat pesta pora penduduk mengais ikan yang menggelepar-gelepar diatas lumpur.

Kabar bahagia dari inbox e-mailku, kakimu sudah setindak melangkah menjauh dari kursi rodamu, tapi bagiku kau hampir berlari menemuiku di jakarta, membawakan aku serantang sarapan tumis buncis, cah kakngkung, dan tempe bacem, yang kau masak penuh dengan sukacita cinta.

Selepas gajian nanti aku akan mengantri tiket di Setasiun Gambir yang suara kretanya bergemuruh bak rasa rinduku padamu, sorenya dengan kereta malam Cirebon Express, aku akan langsung menemuimu bunga hatiku, bunga yang mekar diatas kursi roda, akan aku dorong dan sesekali kukecup ubun-ubunmu, berkeliling menikmati pagi di kaki Gunung Slamet, megejar-ngejar embun, terbahak bersama tak menghiraukan sweater kita yang tak berarti dibasah embun Guci, kan kurangkai sulur-sulur labu, bunga oyong, dan daun wortel kujadikan mahkota dan kusematkan kekepalamu, jadilah kamu ratuku untuk selamanya, jadilah Miss Universe, Miss Word untuku.

Lima belas menit kita akan saling pandang, lebur dalam romansa-romansa pekatnya cintaku padamu, cintamu padaku, beberapa saat aku akan mencium keningmu dengan mata yang terpejam, hanyut bersama, dalam buaian aku kamu…kamu aku…, mata kita terbuka dan kuusap dengan dua jempolku bulir-bulir air mata yang memberai keluar dari matamu, kemudian aku kuestafetkan senyumku dengan mencolek ujung hidungmu yang selalu kuingat dimana kuberada dengan ujung jari telunjuk, kita pun tersenyum bersama seraya berucap lirih “Ratu Kecantikan diatas kursi roda”.

Belaian terakhir untuk seseorang, yang sedang menanti kabar “aku sudah sampai di Tegal…”, duduk termenung diatas kursi roda, menunggu dibalik tirai jendela yang tersingkapkan selayang pandang dengan tanganya, kapan suara ojek dengan motor butut menderu dihalaman rumahnya…? menghantarkan sang adik kelas yang kini sudah menjadi kekasihnya pulang dari Negeri Rantau.

Bersambung >>

Selamat berlibur, dan menjumpai orang-orang terkasih memeluk, bersukacita dengan ikhlas dalam keadaan dan hidangan, serta perlakuan apapun dengan mereka, temuilah kekasihmu yang kini sedang menunggu kekasihnya diatas pembaringan dirumah sakit atau pengobatan alternatif, tercenung diatas kursi roda, memaku dipintu keluar terminal, bandara, setasiun, lapas, menantimu, sebelum sore dan rasa lapr mengantarkan dia pulang kerumah barunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...