Rabu, 09 Maret 2011

Namaku Cerenang

Namaku Cerenang, Umurku baru tujuh belas tahun ketika musik nan beralun mistis menempah penjuru inderaku, dari sebuah tragedi keajaiban itu seperti mukjizat, ialah cinta yang menjelma dalam sebuah nama, ialah tangan lembut-Nya yang terwakili dalam buaian seorang dari diriku sendiri, ialah kuasa-Nya yang sangat tak terbatas, hingga segala penjuru dan sudut hatiku terbenderangi oleh wakil-Mu, “oh aduhai Hyang Nur Maha Nur, sekali lagi aku tak dapat berkata tidak… aku sangat menyayangi wakil-Mu” .

Hujan berintik-rintik dari dalam jiwaku aku sendiri bisik berisik, aku berbisik :

“Heh… Malam sudah larut”

“Tak jengah kau merajut”

“Heh… Ini bukan aku bintang-bintang yang membujuk”

“Tak… Hendakah kau selimuti jiwaku nan remuk jujuk”

***

“Hatimu… yang darinya pernah kudengar decit violin”

“Hatimu… yang padanya luruh rasaku terpilin”

“Itu pun ini malam, berbulan penuh”

“Assyik nian jika diatas danau itu kita bersauh”

***

“Kamu saja, selainya tak akan kuhanyutkan kurasa”

“Kamu saja, tempatku mengaca mataku yang berkaca”

“Kamu saja, rumahku kembali pulang kala usai bingar-bingar”

“Kamu saja, bisik-berisik, cinta ku cinta mu”

Hari raya sudah berakhir, perayaan itu telah selesai, taman - taman, dan tamu - tamu pun beranjak meninggalkan cawan-cawanya yang kini kosong dalam kekosongan hatinya pun hatiku kosong, kumbangnya terbang, dan lampunya sudah mati, didepan rumahmu kau nampak mengurai cerita, penyesalan, derita, senyuman, ini pengaduanmu :

“Aku rindu… aku rindu, kekasih kemarilah… kemarilah…

“Pesta itu sepi tanpamu… aku rindu adamu, semua hambarlah”

“Bodohnya kutampihkan cinta, sedangkan dzikirmu mengalun untuku”

“Bodohnya aku tak melihat isimu, sedangkan puja tassawufmu untuk cintaku”

***

“Ah…apalah lagi aku ini hanya ilalang”

“Seraya memerah senja aku akan hilang”

“Kau berlari tak akan kembali, mengejar masa depanmu nan membentang”

“Suara violinku mengkin tlah’ hilang, tak kau pedulikan…?”

***

“Kamu saja, aku ingin berbisik-berisik, cinta ku cinta mu”

“Aku, cinta kamu…?dengarlah…?”

“Kapan kau akan pulang setelah bingar-bingar usai?”

“Kapan kamu akan mengacakan matamu yang berkaca?”

***

Berbicaralah, tentang apa yang kau harapkan dari kehancuranku, tak mungkin aku akan kembali mengambilmu yang sudah terambil, pestamu sudah berakhir, puja dan pujimu, kasih dan kerinduanmu, sekarang tak patut tercurah dipangkuanku, lihatlah mahligai itu masih terangkai rapi, tanda dan dengus nafas serta gairah pengantin baru masih meriap-riap, mengisi, memenuhi rumah dan kamarmu, rampai bunga melati, bertabur memenuhi tiap langkahku.

Berbicaralah, pada kenyataan bahwa ijab qobul itu telah selesai diiringi koor “Saaaah…” hadirin, biar saja aku terlunta menghimpun luka, kutinggalkan dirimu dan tamanmu yang indah, inilah biduk hatiku layarnya tak terkembang, tak berhalauan dan hancur pada buritanya, kau mendamparkanku dipantai sepi, bertabur pasir berdebur ombak kehancuran, telah luluh lantak semua harapan, telah hilang kasih kala gemilang, “Wahai…bintang gemintang… Namaku Cerenang… Sudikah kau menemaniku hingga malam menghilang, menjemput mimpiku…menghilangkan luka….”.

Bergelora-gelora, bergulung menggunung ombak, beriak-riak, berdetak-detak, dihatiku.

Detik kata-kata sudah habis, jengkal-jengkal janji telah pudar, dijala-jala aku akan terbaring.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...