Rabu, 09 Maret 2011

Ya Tuhan, Semoga Mimpi Kami Tak Terbunuh

12988876801989236797

Pict. from majalah.baitulmalfkam.com, sotoshoped by Edi Siswoyo

Pagi ini aku mendengarkan lagi ucapan itu “Tak akan lagi sayang ini yang terakhir…”, seperti biasa setelah ucapan itu badanmu menghambur dikasur yang baru selesai kurapikan, tak ada kata lagi kau nampak pulas, warna gincumu sudah pudar berbayang tak merah ditepi-tepi bibirmu, entah kemana malam mengantar jiwamu menghabiskan bahakmu yang kini tertinggal kata “Udah yah aku ngantukk banget…”, kupungut high-heels-mu yang tercecer diantara pintu dan lemari pakaian, kupungut sweatermu yang bernasib lebih malang hampir terlempar keluar dari jendela.

“Ya Allah inikah istriku…” Kusibak rambutnya yang bak kelambu menghalangi tergerai menutup sebagian mukanya jadi samar, uap nafasmu mengepul-ngepul “Upsss…deru alkohol lagi…” dengus siapa lagi yang meriap-riap dileher, dibibir, dan badanmu. Aku harus meninggalkanmu seperti ini lagi, sayang sekali, persembahan yang penuh ketulusan dan rasa sayang penuh dari hati “Ayah sayang Bunda…” harus kuwakilkan diatas selembar kertas.

“Kalau Sudah bangun…

Sarapannya diatas meja

Ayah buatkan nasi goreng kesukaan Bunda”

Satu kecupan dikening emmmuah…

“Ayah Sayang Bunda…”

Kutindih dengan tasmu yang seharga lima bulan gajiku, nombok 99.999 ribu. Maafkan sayang nampaknya kelelahanmu tak akan membuat hangat suasana pagi dengan obrolan singkat sebelum aku berangkat ke tempat kerjaku. Maaf pula aku harus mengambil lagi 3 tablet pil dalam plastik resep yang selalu kamu bilang itu cuma tablet parachetamol tiap aku tanyakan, “obat apa itu…?” karena aku yakin ini bukan obat itu, inilah bentuk dari kata “Halimah” yang sering mengundangmu lewat SMS dan dering telponmu “Ciiiiiinnn…datang yah ada halimah lhoo…?”, semoga setelah pulang bekerja nanti aku akan menemukanmu didapur sedang sibuk mempersiapkan masakan kesukaanku, kau menyambutku dengan senyuman dan kecupan hangat seperti dulu.

***

Jam-jam cemas sudah berlalu, aku berkemas, waktu-waktu menakutkan akan segera aku lalui, pintu kontrakanku yang bercat putih akan aku ketok pelan, dan sahutan “iya sayang…” pastilah dari istriku tercinta, selayang pandangnya aku akan melihat senyum manis itu terkibar dari bibir indah itu, aku bawakan martabak telor kesukaanmu. Tak lagi kau usir aku “Pergiiii…Kaaauuu dari rumaahhkuuuu…” dan mendorong badanku yang hendak merangkulmu agar kau bisa tenang.

Haruskah seperti ini lagi “Ya Tuhan…”. Kau lepas kontrol lagi perabotan sudah pecah berantakan, berserakan diatas lantai, janganlah aku kau todong pisau dapur lagi, atau kau akan langsung menyongsongku lagi berusaha memukul-mukulku dadaku, kemudian jatuh tersimpuh mendekap kedua kakiku, dan kata “maaf” pun tercurah berkali-kali dari mulutnya seraya terisak tangisanmu. Sekarang suaramu hampir hilang, serak, disisa suaramu yang hampir hilang kau memohon-mohon “tablet” terkutuk itu. kau mengoyak-oyak hem-ku yang sudah lusuh separuh kancingnya sudah terlepas dari dudukanya, jahitanya tak terlalu kuat untuk menahan tanganmu yang penuh nafsu dan keinginan “Mana yah… bunda butuuuuhhh…” suaramu memelas.

***

Aku tak bergeming hanya air mata saja yang tak sanggup kutahankan, berderai membuat pipiku berkilap mengkilat-kilat, masing-masing bulir-bulirnya menyala terkena sinar lampu. Aku masih yakin aku tak salah memilihmu menjadi istriku Hawa pendamping Adam hingga waktu sama-sama mengambil bahak, bahagia dan tarian kita berdua diatas dunia. Sampai kau ambruk, tubuhmu mengejang, menggigil, “Tolong mas…aku ingin sembuh…toloooonngg…”. Lunglai dirimu kini rebah berbantal lenganku “iya sayang…” sambil kurapikan rambutnya yang sedari tadi tiada henti diremas dan ditarik-tariknya, rambut hitam yang dulu sempat memenjarakanku diperujungan harapan, hitam, semampai, berkibar seraya angin. Kau mengurai mimpi indahmu dengan nada suaramu yang makin berat dan hilang-hilang, kadang tersengal.

“Iya sayang… kamu pasti bisa sembuh…dan kita pulang ke Rangkat bersama, seperti impian kita berdua..”. Berkecamuk rasa itu, mengendap, memberai, dan menghentak dalam hatiku. Inilah mimpinya sembuh dan pulang ke Rangkat membangun pengharapan baru, memulai kehidupan baru, yang penuh kesederhaan jauh nian dari hingar bingar kota, hidup tenang menjadi pasangan Bapak dan Ibu tani, membesarkan anak-anak kita dan menatapnya berlari-lari dihalaman kecil rumah kita yang berserabut rumput hijau dan bunga-bungaan, malamnya kami tertidur tenang diatas tilam-tilam sederhana berselimut kasih dan sayang, kita saksikan kaki-kaki kecilnya berlari menyongsong kita yang sedang terduduk berpeluk ditangga rumah. Damai kami dalam kesederhanaan di Desa Rangkat semoga bukan hanya sekedar mimpi di Siang Hari. Menemukan damai dalam keseharian kami.

Ya Tuhan, Semoga Mimpi Kami Tak Terbunuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...