Rabu, 25 Agustus 2010

Mimpi Yang Terbunuh


Jika namamu adalah kebisuan
Bolehkah saya mengenalmu dalam irama-irama gempita
Andai namamu adalah kegelapan
Izinkanlah saya mengenalmu dalam gebyar-gebyar sinar

Setitik cahaya yang saya ajak bicara
Tak bertutur hening dalam sekotak sepi terdiam
Dulu saya menemukanya menggelepar-gelepar
Hancur dalam ungkapan kembara, mendamba

Kini kata-kata cinta yang purba
Menjadi nyanyian merdu bunyi belaka
Saya menjadi lantang bertutur dan menyajak
Setelah debur samudra dan angin rimba mengajarkan berapa kata-kata
dan saya bendaharakan dalam segumpal otak

Sekarang kamu dan saya hidup dalam kebangkitan yang sama
Tahun-tahun yang membunuh telah menghidupkan kita
Waktu-waktu yang menakutkan telah memberanikan kita
Sebutir pasir derita yang kita genggam kini menjadi mutiara

Dihari kita terlahir kembali dalam keheningan
Mulut-mulut kita saling berdo'a,seperti titik-titik hujan yang memukul-mukul atap rumah ilalang
Mengalunkan nada yang sama senada dalam kehampaan

"Tuhan lahirkanlah jiwa kami yang baru, dan buanglah Roh yang hampa ini dari kawalannya, Gantilah Tuhan...Tiupkanlah Roh baru yang penuh pengharapan..."

Jika ucapan itu seperti pagi yang derita
Genggamlah dengan tangan-tangan-Mu yang bahagia
Jika semua do'a hamba selalu jatuh dan jatuh lagi pada ibu bumi
Sudilah Engkau, memungutnya bawalah keatas langit

Wahai Tuhan yang berhak menentukan atas segala pilihan
Sembadahkan jawaban dari do'a kita

Harta kita tak kan pernah bisa membeli keadilan Tuhan,
Tak sama seperti keadilan dimuka bumi yang dijual dan dipajang di etalase
Di sebuah Toko yang disebut Lembaga Peradilan
Yang di Pintu Masuknya bertuliskan "Keadilan Untuk Semua"
Harusnya dibubuhi tanda tanya (?) setelah kalimat "Keadilan Untuk Semua"

Tuhan, lihatlah mereka wakil-wakil-Mu
Yang tak beda dengan karyawan-karyawan Toko Penjual Keadilan

Penderitaan kita sudah tak lucu untuk kita tertawai
Dan mimpi indah kita yang selalu terbunuh tak cukup manis untuk kita senyumi
Sekarang adalah masa-masa penyempurnaan diri
Menjelma dari pagi yang pahit derita kepada malam yang cendekia

Sekarang, seribu jari telunjuk seperti sedang menuding saya
Seperti ada sepasang mata yang nyalang melotot menatapku dari langit
Dan angin sedang sibuk berusaha membaringkanku diatas ladang panjang ini
Agar saya hilang dari diri saya sendiri, Karena hilang adalah bentuk lain dari kebebasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...