Rabu, 13 Oktober 2010

TOHIDIN TOIPAH Episode 3 : Bukan puisi, dari hati untuk toipah


Ditulis Oleh Edi Siswoyo
Diunggah Oleh Edi Siswoyo

Setelah menyeka keringatnya dengan sapu tangan warisan almarhum bapaknya KI KUSUMA WIDJAJA(karena cuma itu yang bapaknya wariskan selain hutang dan terbukanya rahasia bahwa ternyata tohidin bukan anak tunggal,saudara tirinya banyak, ternyata...), Tohidin gontai melangkah menuju panggung, Seperti caleg/pejabat saat pawai, yang terpaksa tersenyum agar terkesan ramah (bahasa infotainmentnya Ja.Im : Jaga Imej), padahal imej/anggapan terbentuk bukan karena paksaan semuanya adalah proses refleksi otomatis dari tingkah laku manusia yang sebenarnya, bukan bikinan alias digawe-gawe,tohidin pun melakukan hal yang sama, tersenyum sekedar penghalau menutupi rasa bingunganya, yang nyatanya tak mampu menutupi apa yang tersirat dalam hatinya, setelah tohidin diatas panggung, kemudian sang MC memberikan mic-nya ke tohidin, seperti tak kuasa memegangganya karena rasa gemetar yang dirasakan, tohidin akhirnya menaruh mic pada standmic yang tepat berada didepannya, kemudian tohidin mengucapkan beberapa kata pembuka “Assalamualaikum wr, wb, Selamat siang dewan juri yang saya hormati, dewan guru yang saya patuhi, dan teman-teman sekalian yang saya cintai, terima kasih telah memberikan saya kesempatan untuk membacakan karya saya…puisi saya, yang saya tujukan untuk seseorang yang berada disini…dan semoga bisa mewakili perasaan teman-teman, yang sedang merasakan hal yang sama saya rasakan..”(Sok Bahasa Indonesia tapi logat tegale masih kentel nemen kaya kueeee…), Kemudian tohidin menundukan kepalanya entah berdoa atau sedang membaca mantra sirep,tohidin terbatuk kecil dan membuka gulungan 2 kertas lusuh ditanganya kemudian dia mulai membacanya :


“Sajak Untuk Sebuah Nama”

Selamat malam bintang
Apakah kau marah padaku malam ini?
Hingga benderangmu tak menjumpaiku, malam ini
Dipantai, diberanda rumahku aku tak menemukanmu

Pada dirimu...bintang
Apa yang hendak kau pinta dariku
Kidung nan merdu atas namamu
Biarlah malam memberi gelap kelabu
Sedang kaulah benderangku

Pada dirimu...bintang
Apa yang hendak kau ceritakan padaku
Jika rindu mengharu biru itu hadir dariku untukmu
Biarlah aku yang bisu hilang dan beku
Sedang namamu menjamasi hatiku

Aku melukismu ditanganku
Agar aku tak memohon lagi untuk mengambil sedikit sinarmu
Aku cucukan penaku pada hatimu
Agar semua kata yang ku tertulis terilham darimu

Inilah ungkapan rasaku
Inilah permohonan bodohku
Inilah makna dari selaksah ketidakjelasan dari sudut hatiku
Inilah rasa yang langgeng hayat dalam jiwa tak terucap dari bibirku
Inilah tuturan dalam kesadaran dan keabadianku

Untuk sebuah nama, bintangku
Untuk sebuah nama,bintang…benderangku
Untuk lirih suaraku, jawablah pertanyaanku?
Untuk damai jiwaku, aku hanya memohon pada percayaku?

Jika jalan itu ada tunjukanlah padaku
Jika rasa itupun kau rasakan sambutlah aku
Jika tak ada waktu untuk menghiraukan cintaku
Setidaknya tahulah“Bahwa, aku..aku..cukup bahagia dengan senyumu”

Jika itupun tak cukup
Biarlah kematian yang akan menilai dan menakar semuanya
Karena benih dari lagu-lagu jiwaku takan pernah kau temukan dalam kehidupan
Semuanya tak ada nilai semasa hidup sebelum aku mati
Biarkanlah bibir kematian yang akan mengungkapkan semuanya

Demikian yang mampu kuturkan
Andai engkau ingin tahu kebenaran itu
Hanya dalam kalbuku saja semuanya tersimpan
Lebih dari yang mampu kutulis dalam kertas ini
Karena dalam palung hasrat terkandung lebih banyak definisi
Ketimbang yang tergenggam dalam tangan dan yang keluar dari kesepakatan lidah dan bibir ini

Ambilah semuanya jiwa dan hatiku
Ciumlah semuanya raga dan cintaku
Aku sungguh-sungguh tak bisa tidak mencintaimu
Aku tak sadar, aku hilang dalam senyummu

Tak lebih besar inginku
Jika kau tak bisa menyambut esok bersamaku

Semoga setiap malam kan kutemukan wajahmu yang berbinar bintang
Sementara kau berprasangka ruangku gulita
Yang kau tak tahu sinarmu berpendar mengisi sudut-sudutnya
Dan diiakhir musim ini biarlah kuambil sedikit sinarmu,bintang

Untuk sebuah nama, bintang…
Aku masih berfikir dan terus berfikir
Tak akan pernah berhenti menyayangimu
Kau…kau…saja, bintang…benderangku (sambil menunjuk kearah toipah…)

Untuk sebuah nama, bintang
Aku tak akan lelah mengatakan "aku sangat mencintaimu"
selama waktu masih memberiku banyak kesempatan

Untuk sebuah nama, bintang
Aku akan terus mempersembahkan semua pengorbanan pada altar hatimu
Semoga tiupan angin-Nya akan membukakan pintu rahasia hatimu
Untuku...untuku...untuku...bintangku...

Terima Kasih….

Disambut dengan tepuk riuh dewan juri, para guru, dan para penonton, kemudian sang MC Tarjo mendekati tohidin dan memberikan selembar tissue, untuk menyeka keringat dan airmata tohidin dan berucap “Sing sabar ya din…jangan berputus asa”, kata-katanya seperti menguatkan tohidin, tapi tidak lama dia langsung memeluk tohidin dan menangis sambil menggumam “din…din…puisimu itu seperti ungkapan hatiku…pada karo apa sing tak rasakna atine enyong saiki…aku naksir tariceng wis 3 taun…tekan saiki wis arep lulus durung diterima…huk.. huk.. huk..”. Tohidin berusaha tenang dan mencoba menguatkan tarjo salah satu teman dalam organisasi OSIS-nya “Sing sabar ya jo…jangan berputus asa...koe durung terima mungkin durung dikirim karo tariceng...”, MC Tarjo langsung menyahut “lah ko..omongane enyong dibalikna din…?”Udin hanya tersenyum kecil, beberapa menit adegan yang mirip seperti sinetron televisi lokal daerah tegal berlangsung.

Kemudian tohidin melepaskan pelukan tarjo, lalu ia turun dari panggung, acara pun berlanjut dengan peserta berikutnya, sementara teman-teman yang lain mengikuti acara demi acara dan bercanda, atau sekedar menonton pertandingan yang lain, tohidin memilih untuk menyendiri diperpustakaan, sekedar duduk dan melamun padahal kalo lama-lama ngelamun bisa dipotong kalo ayam tapi tohidin bukan ayam tohidin adalah manusia yang punya rasa dan punya hati, jangan samakan dengan pisau belati....nyanyi lagi, beberapa lama dia terdiam, kemudian tohidin mengambil 2 lembar kertas dari sakunya, kemudian tohidin tersenyum dan nampak heran memandang 2 lembar kertas yang tadi ia bacakan isinya, yang sebenarnya kertas itu sama sekali tidak bertuliskan puisi yang tadi ia bacakan dengan gamblang, lantang, sombong, dan penuh panghayatan. Ternyata 2 lembar kertas itu tohidin dapatkan ketika ia melewati gang (Mau disebut gang tikus tapi gang ini lebih kecil dari gang tikus yang sempat saya temui..jadi susah arep nyebute gang apa..)disamping rumah toipah, dan tanpa sengaja tohidin melihat toipah membuang sesuatu dari jendela kamarnya yang bersampingan langsung dengan sebuah gang kecil dimana tohidin lewat, kemudian tohidin memungutnya. Lembar pertama bertuliskan "Panggil aku ipah", dan lembar kedua bergambar salah satu tokoh punakawan yaitu Bagong, tohidin hampir tidak percaya dengan dirinya sendiri tapi, dia tetap percaya pada Tuhan, tak seperti koruptor yang mempersekutukan Tuhan dengan duit, hanya dengan bermodal perasaan cinta dan kekagumaman yang begitu besar tohidin kepada toipah, tohidin seperti sedang kerasukan roh pujangga besar, penyajak ulung, tohidin menjadi seperti penulis bijak bestari yang membacakan karyanya yang belum tersurat dan masih tersirat, seperti sang aulia yang sedang menyabdakan ayat-ayat Tuhan yang jatuh lemas dan tidak ingat lagi apa yang sudah disabdakanya, kini puisi yang diucapkan tohidin pun sudah tidak bisa diingat lagi oleh dirinya sendiri, semuanya hanya menjadi riwayat hati tohidin, ditulis dengan pena cintanya pada lembar perasaanya dan hilang tersimpan dalm kalbunya yang hayat, ada beberapa bait yang masih teringat dan tohidin berusaha terus mengucapkanya :

"Untuk sebuah nama, bintangku
Untuk sebuah nama,bintang…benderangku,

Jika jalan itu ada tunjukanlah padaku
Jika rasa itupun kau rasakan sambutlah aku"


Hingga kegaduhan didepan pintu Perpus menyadarkan tohidin dari lamunanya, tohidin kemudian menoleh dan melihat beberapa teman sekelasnya berteiak-teriak "din...din...kamu menang...kamu menang...", ternyata tohidin benar-benar khusyuk dengan lamunanya sehingga MC yang berteriak-teriak berulang-ulang memanggil nama tohidin pun tidak ia dengarkan, begitu hanyut dia denga perasaan cinta yang dirasakannya, karena itu pun wajar dirasakan oleh setiap manusia, yang lebih cenderung lebih cepat terlena dengan kenikmatan yang berhubungan dengan sesuatu yang bersifat ragawai/kemanusiaan, tapi ketika sedang berhubungan dengan Tuhan mereka tidak merasakan kenikmatan, dan kehanyutan yang sama seperti saat kita berhubungan dengan manusia begitu juga saya (sing nulis),(Pacaran 3 jam kuat...sholat, dzikir 30 menit be wis glasahan...ckckckck...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...