Jumat, 15 April 2011

Hymne Kemenangan


13016587902141932811

Ilustrasi Merdeka

Hymne Kemenangan,

Dimalam kemenangan itu aku akan berlari seperti pesakitan seumur hidup yang kabur dari lapas Nusa Kambangan, takku pedulikan apapun hanya berlari… berlari… dan berlari….

Diujung gelap sana lelaki tua separuh baya, badanya parah, namun mulutnya berbahaya, berkilat-kilat ucapanya bak pedang Ali Bin Abu Thalib menembus daging, tulang, menyeruak ke dalam jantung mengoyak zirah besi pelindungnya, tapi kali ini ia tak berdaya, diam berhemat kata, pun tak lantang suaranya, mengerang kesakitan, “tolong aku… tolong aku…” rintihnya.

Padamu wahai tawanan yang sebentar lagi baik pangkat menjadi buronan,

***

Kau pun akan bernasib sama sepertiku

Tak mampu kau baca hutan asing ini

Kau pun akan berteriak-teriak sepertiku

Tak mampu beranjak saat gelap mengetam mata ini

***

Padamu wahai tawanan, tertawalah dulu

Padamu wahai tawanan, jurang didepanmu akan menjadi kuburanmu

***

“Hai… Pak Tua, aku bukan tawanan, dan takan jadi berubah statusku jadi buronan…”

“Aku…Sang Mahapatih yang sedang berlari girang, mengibarkan panji-panji kemenangan, diatas tumpukan sejuta bangkai, diatas mayat-mayat itu aku berdendang hymne kemenangan,usailah perang…

***

“Usailah perang….

Kemenagan dan kekalahan dipestaporakan Si Burung Bangkai

Rajaku tersenyum dan Rajanya menangis

Ratuku tersenyum dan Ratunya menangis

Hingga lebur tangis dalam senyuman

Hingga samar senyum dalam tangisan

***

Hymne Kemenangan…

Kalah dalam barisan dukalara tak terhingga

Menang dalam perasaan sukacita tak terhingga

Kekasih, aku pulang…panji-panjiku terkembang…

Aku pulang… Aku pulang… Aku Menang…”

***

“Di bait terakhir lagu akan kututup dengan senyuman..selamat tinggal reffense dukalara… aku hisap habis asap-asap tembakau kemenangan…intonasiku lantang AKU MENAAAANG…

Senja hampir habis di pantai losari,

Baterai camera digital-ku’ habis, mungkin tak akan bisa ku abadikan senja di pantai losari, lagipun senjanya sudah hampir habis, biarkanlah mata dan ingatan ku’ saja yang akan mengabadikan semua keindahan ini, ku bingkai semuanya, biarlah andai suatu memori otak-ku rusak diserang serangga dan bakteri usia, dan semua keindahan yang pernah ku abadikan dan kusimpan didalamnya terburai keluar, tolong ambilah perca-perca keindahan itu, dan simpanlah. Mungkin nanti bila saatnya tiba anak-ku yang wajahnya membuatmu mengingat ku lagi, ceritakanlah padanya tentang perca-perca keindahan yang pernah kau ambil, biarlah… biar anak-ku mengambil semuanya lagi, dan hanya menyimpan di ruang otaknya seperti yang aku lakukan dulu.

Sepulang nanti anak-ku akan menceritakan semua kehebatan, perca-perca keindahan, juga tawa canda, itu dulu pernah ada, kakeknya dulu si pendek yanghebat, ceritakan apa yang pernah kita dapatkan dan dan kini isinya sedang diperlihatkan dari mulutmu. Biarlah anak cucu-ku akan berbangga dengan kehebatan-ku, diabadikan…diabadikanya… menjadi cerita atau dongeng sebelum tidur semata tak diabadikanya… atau diabaikanya.

Ehmmm…Di bibir Pantai losari cundrik-ku tertancap, ku kecup bibirnya yang masih telanjang, kemudian awan menyembunyikanya, kenangan akan ciumanya yang lebih hangat, dan perkasa dari api yang membara dari tungku pedagang Cotto Makasar, aku merasa lebih agung dari patung yang dipahat yang sekarang penuh lumut.

Apatah lagi sanak kadang, anak cucu-ku sedang bergembira, dibibir pantai berpestapora, semalam suntuk mengacuhkan kantuk, Kala air pasang kita saling memeluk, kala air surut kau mengangguk, Hingga pagi tiba, kita bagai gerombolan bajak laut, tersungkur dipantai, sementara kapalnya remuk jujuk, diantara pasir kita saling memeluk, bagai ilmu Si anak perawan sakti merajuk, Hilang sadar dari ingatan, lepas ingatan dari kawal merah kesadaran, bukankah anak-anak sedang mewarisi kebudayaan kita, mereka menirukan gaya bibir kita kala tersenyum, kala muka kita merah menyala dalam bara marah, kemudian memukul penuh nafsu dan berpestapora, mereka semua mewarisi cara-cara yang menyedihkan untuk mencari kesenangan.

Bersama kau, aku pernah merasakan dibanting murka, salah kita meminum anggur angkara, disuling dari cerobong neraka, sampai kecawan kita membara-bara, cinta, alasan mutlak. gara-gara, setan-setan separuh muka terbahak ditenggara, “Terus mabukanlah dirimu, sebagaimana cinta telah memabukanmu…” Suaranya gemetar bergetar-getar Si Anak Setan kurang ajar.

Tak sudi katanya… Biarkan katanya, biar kita ikut hangus terbakar api cinta pertama yang suci, lalu tenggelam dan benar-benar hitam menjadi arang tak berarti hingga bara terakhir mati, dan kitapun mati dalam keadaan hina, begitulah cinta, kita dibakar dengan api pertama yang suci, kemudian kita dibakar oleh api-api berikutnya yang disebut nafsu. Masih sucikah …? Cinta yang berjalan diantara waktu yang selalu kita habiskan diatas ranjang, atau tenggelam dalam gulita kasih… kasih… kasih… sampai pagi menjemput dosamu. Sia… sia… sia… sia… cinta manusia pada manusia. Segera berangkatlah mengintip hakikat kesejatian cinta, dalam cara-cara agama, dan adat istiadat bangsa menyatukan dan mengesahkan nafsu&cintamu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALA ITU

Angin berdesir kala itu Aku tahu kau suka angin itu Semilir menerpa jilbab panjangmu itu Senyuman kecilmu tanda kau suka itu Aku ingin berta...